Ipda Eko Nursetiawan, alumni Universitas Jenderal Soedirman, bahkan termasuk lulusan terbaik di angkatannya. Dia menyabet penghargaan Tanggon Kosala untuk aspek sikap dan perilaku. Selama pendidikan, Eko dipercaya memegang jabatan Danyon Korpsis, yang jelas menunjukkan kualitas kepemimpinannya.
Namun begitu, jalan yang dilaluinya tak mulus. Dia adalah anak dari Taslim, seorang petani. Sejak kecil, Eko sudah ditinggal ibunya yang memilih menjadi TKW di luar negeri demi menopang ekonomi. Sempat gagal seleksi Bintara Polri pada 2015, dia tak patah arang. Tahun 2024, dia mencoba lagi lewat jalur SIPSS dan gagal lagi. Barulah di 2025, kesempatan itu datang. Perjuangan panjangnya akhirnya berbuah manis.
Kisah perjuangan serupa datang dari Ipda Agung Saputra. Dia adalah anak dari almarhum Anton dan Watira yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Ayahnya telah lama meninggal, sementara ibunya bertahan sebagai buruh tani.
Bayangkan, lebih dari sepuluh tahun Agung berusaha masuk ke institusi penegak hukum. Tidak kurang dari sepuluh kali dia mencoba, mulai dari seleksi Bintara PTU (2019-2024), Bintara Rekpro, Tamtama Brimob, hingga Bintara TNI AL. Semuanya mentah.
Hingga akhirnya, di tahun 2025 ini, doa tanpa henti dari sang ibu dan ikhtiarnya yang pantang menyerah membawanya lulus SIPSS. Selama diklat, Agung menjabat sebagai Polsis 1A, menunjukkan dedikasi yang tak diragukan lagi.
Dari dua cerita ini, satu hal yang jelas: perubahan di tubuh Polri bisa dimulai dari proses rekrutmen yang adil dan memberi kesempatan sama. Dari ladang-ladang tandus dan doa seorang ibu, lahir perwira-perwira baru yang siap mengabdi dengan sepenuh hati.
Artikel Terkait
KKP Pertahankan Gelar Informatif untuk Ketujuh Kalinya
Tragedi di Rumah Mewah Cilegon: Bocah 9 Tahun Tewas Bersimbah Darah
Trump Perluas Larangan Perjalanan, Suriah dan Palestina Masuk Daftar Hitam
Anggota DPR Soroti Kesenjangan Pernyataan dan Realitas Penanganan Bencana Sumatera