Gelembung Properti China Pecah, Triliunan Dolar Kekayaan Warga Menguap

- Selasa, 16 Desember 2025 | 18:15 WIB
Gelembung Properti China Pecah, Triliunan Dolar Kekayaan Warga Menguap

Mesin Pertumbuhan yang Padam

Dulu, properti adalah penyokong utama ekonomi. Sektor ini pernah menyumbang seperempat PDB Cina, mendorong pertumbuhan dua digit di era 2000-an. Kini, perlambatannya menyeret pertumbuhan ekonomi ke sekitar 5% tahun lalu. Angka itu masih terkesan, tapi jauh lebih rendah dari masa kejayaan.

Efek berantainya luas. Stevenson-Yang menjelaskan,

Cina adalah konsumen terbesar dunia untuk bahan baku konstruksi seperti bijih besi dan tembaga. Jadi, ketika permintaannya melemah, negara pengekspor seperti Australia dan Brasil pun ikut merasakan dampaknya. Di dalam negeri, tekanan pada pemilik rumah juga melemahkan konsumsi, termasuk untuk barang-barang mewah dan mobil impor.

Stimulus Setengah Hati

Beijing tampaknya tak ingin mengulangi kesalahan. Mereka enggan menciptakan gelembung spekulatif baru, sehingga stimulus kali ini tidak semurah dulu. Pemerintah Cina dikenal cepat turun tangan setelah krisis 2008, kejatuhan pasar saham 2015, dan selama pandemi. Tapi sekarang, pendekatannya berbeda.

Alih-alih penyelamatan besar-besaran, banyak pengamat yakin pemerintah membiarkan harga turun perlahan. Stabilitas jangka panjang dan restrukturisasi sektor diprioritaskan ketimbang suntikan dana cepat.

Meski begitu, kabar dari Bloomberg bulan lalu menyebut Beijing masih mempertimbangkan sejumlah langkah, seperti subsidi bunga hipotek dan pemotongan pajak. Tampaknya, upaya itu lebih untuk meredam gejolak daripada membalikkan tren.

Terowongan Panjang Menuju Pemulihan

Sejarah menunjukkan, krisis properti bukan perkara singkat. Di AS, kejatuhan yang dimulai 2007 baru stabil pada 2012. Di Spanyol, keruntuhan pasca-2008 juga butuh lima tahun sebelum ada tanda pemulihan. Kasus terparah mungkin Jepang, yang gelembungnya pecah tahun 1991 dan harga propertinya stagnan lebih dari satu dekade.

Stevenson-Yang meyakini sektor properti Cina menuju "10 tahun pertumbuhan negatif atau datar." Analis S&P Global Ratings punya pandangan serupa, bahwa penurunan bisa berlanjut hingga akhir 2020-an. Beberapa proyeksi yang lebih optimis mengisyaratkan pemulihan tahun depan atau 2027.

Ini jadi pil pahit bagi keluarga-keluarga biasa. Tabungan mereka terkurung di apartemen yang nilainya terus tergerus. Mereka terjebak dengan hipotek yang tak bisa dilunasi dan rumah yang tak laku dijual. Yang paling menyakitkan, harga properti mungkin tak akan kembali ke level puncak 2020 dalam waktu yang sangat lama.

George Magnus mengingatkan, kisah semacam ini sebenarnya tak asing.

Di mana pun, pemilik rumah sering terjebak asumsi bahwa harga akan naik selamanya. Ketika realitas berkata lain, dampaknya selalu menghantam paling keras ke orang-orang yang paling tidak siap.


Halaman:

Komentar