"Intinya menutup celah-celah yang sebelumnya tidak diatur secara rapi, supaya penugasan Polri itu transparan, akuntabel, dan tidak menimbulkan konflik kepentingan."
Di sisi lain, Rano mengakui kebutuhan perbantuan Polri oleh lembaga negara lain itu nyata dan kontekstual. Tidak bisa diseragamkan begitu saja. Selama ada dasar hukum yang kuat dan kebutuhan institusional yang sah, praktik itu tetap konstitusional. "Negara hukum itu bukan berarti menutup diri dari pemanfaatan keahlian aparat negara," katanya. "Yang dituntut adalah pembatasan yang jelas supaya tidak ada penyalahgunaan kewenangan."
Pembicaraan kemudian merambah ke agenda reformasi yang lebih luas. Rano menyinggung soal mekanisme pengangkatan Kapolri yang melibatkan persetujuan DPR. Itu, katanya, bagian dari sistem checks and balances. Bukan mengurangi hak prerogatif presiden, melainkan memastikan akuntabilitas di tubuh penegak hukum.
"Persetujuan DPR itu bukan untuk mengurangi hak prerogatif Presiden," tegasnya.
"Justru itu mekanisme konstitusional agar kekuasaan dalam institusi penegak hukum tetap terjaga akuntabilitasnya."
Ke depan, komitmen Komisi III adalah mengawal implementasi putusan MK dan Perkap tersebut. Reformasi kepolisian, bagi Rano, bukan proyek sekali jadi. Ini proses berkelanjutan yang intinya sederhana: menjaga batas kewenangan dan mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab.
"Reformasi kepolisian itu bukan soal memperluas atau meniadakan peran Polri secara ekstrem," pungkas Rano.
"Ini soal menjaga batas kewenangan dan mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab."
Artikel Terkait
Gempa Magnitudo 4,7 Guncang Perairan Sabang, BMKG: Data Masih Bisa Berubah
Gudang Kosmetik dan Obat di Bogor Ludes Terbakar, Kerugian Capai Rp1 Miliar
Verifikasi Ungkap Fakta di Balik Angka Korban Banjir Sumatera
Kemenbud Luncurkan 11 Jilid Sejarah Indonesia, Jawab Kerinduan Akan Narasi Utuh