Gelap malam itu hanya diterangi suara gemericik air dan tarikan napas berat. Rini, bersama suami dan anaknya, serta sekitar dua puluh warga lain, mendayung sebuah perahu dengan tangan mereka sendiri. Mereka menerobos kegelapan selama dua jam penuh, di atas genangan yang tingginya mencapai lima meter melampaui pucuk pohon sawit dan tiang listrik. Ini adalah kisah mereka saat Sungai Tamiang meluap dan menerjang Dusun Tualang di Aceh Tamiang.
Banjir sebenarnya sudah mulai merayap masuk sejak Rabu pagi. Rini, seorang warga 46 tahun, mengira itu hanya genangan biasa. Suaminya bahkan masih sempat berjualan siang itu. Namun, sore harinya, situasi berubah drastis.
"Airnya tiba-tiba bertambah-tambah terus, deras sekali," kenang Rini.
Mereka pun buru-buru pindah ke Puskesmas berlantai dua yang letaknya tak jauh dari rumah. Saat mengungsi, Rini hanya sempat membawa sedikit bahan makanan dan segulung ijazah, barang berharga yang tak ingin ia tinggalkan.
Rupanya, itu belum akhir dari teror itu. Menjelang dini hari Jumat, sekitar pukul satu, air terus naik dengan ganasnya. Bahkan di lantai dua Puskesmas, ketinggian air sudah mencapai betis orang dewasa. Kondisi itu memaksa mereka untuk mengambil keputusan berani: mencari tempat yang lebih aman.
Dengan meminjam perahu milik seorang anggota DPRD setempat, mereka pun memulai perjalanan mencekam di tengah malam buta. Muatannya tiga orang per perahu.
Artikel Terkait
Menteri PAN-RB: Pelayanan Publik yang Baik adalah Fondasi Keadilan
Gubernur Lampung: Kalau Seni Bisa Viral, Kenapa Empat Pilar Tidak?
Bau Hangus dan Duka di Sisa Gedung Terra Drone
Hidayat Nur Wahid: Dukungan PBB untuk Palestina Harus Diikuti Aksi Nyata