Ketika Alam Sakit, Ekonomi pun Ambruk: Refleksi Pasca Banjir Bandang Sumatra

- Selasa, 09 Desember 2025 | 10:45 WIB
Ketika Alam Sakit, Ekonomi pun Ambruk: Refleksi Pasca Banjir Bandang Sumatra

Rumah-rumah hanyut, jembatan putus, warga berlarian menyelamatkan diri. Video-video itu membanjiri linimasa kita beberapa pekan terakhir, mengabarkan duka Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang diterjang banjir bandang dan longsor. Bencana demi bencana seolah datang bertubi-tubi, dan banyak orang mulai bertanya: kenapa ini makin sering terjadi, dan makin sulit ditebak?

Di tengah hiruk-pikuk itu, sebuah kalimat dari Guy McPherson ramai dibagikan ulang. Sederhana, tapi menusuk.

Kutipan itu, bagi saya, menyentuh akar persoalan. Selama ini kita kerap memisahkan, bahkan mempertentangkan, urusan lingkungan dengan pembangunan ekonomi. Padahal, coba kita lihat fakta di lapangan. Banjir di Sumatra tidak cuma merusak rumah. Pasar lumpuh, distribusi pangan terhenti, roda ekonomi daerah macet total.

Pedagang tak bisa jualan. Petani merugi karena tanamannya hanyut. Nelayan tak melaut karena air keruh dan dermaga rusak. Jelas sekali: ketika alam sakit, ekonomi ikut ambruk.

Lalu, apa yang bikin alam ‘sakit’? Salah satu faktornya, tutupan pohon kita yang terus menyusut. Sejak 2001 hingga tahun ini, lima provinsi utama kehilangan lebih dari 19 juta hektar hutan. Angka yang fantastis, dan dampaknya langsung kita rasakan sekarang. Hutan yang hilang berarti tanah kehilangan daya serap. Air hujan langsung meluncur deras ke sungai, banjir pun tak terelakkan. Ongkosnya? Ya, kita yang bayar, lewat anggaran penanggulangan bencana yang membengkak.

Namun begitu, saya rasa kita tak perlu larut dalam pesimisme. Justru momentum inilah saatnya kita membalik cara pandang. Lingkungan bukan penghambat, melainkan fondasi. Negara dengan lingkungan terjaga terbukti lebih stabil ekonominya, lebih tahan goncangan.

Di beberapa tempat, kita sudah punya contoh nyata. Ambil contoh komunitas adat di Aceh. Mereka mengelola hutan dengan kearifan lokal, mengambil hasil tanpa merusak. Ekosistem tetap lestari, warga dapat penghasilan. Atau di Kalimantan, gerakan agroforestri mulai tumbuh. Petani menanam pohon di antara lahan pangan, sehingga tanah pulih, banjir berkurang, dan pendapatan justru naik. Model-model seperti ini perlu kita dukung dan replikasi.

Di sisi lain, ada angin segar dari pemerintah daerah. Beberapa kepala daerah kini lebih ketat mengawasi izin usaha dan menata ulang tata ruang. Ini sinyal bagus. Kesadaran bahwa pembangunan harus ramah lingkungan pelan-pelan menguat.


Halaman:

Komentar