Pukul empat pagi yang gelap itu, rumah Yusmidar di Padang Lahew, Pasaman Barat, tiba-tiba runtuh diterjang longsor. Suara gemuruh, lalu gelap. Lumpur dan air memenuhi ruangan hingga setinggi leher. Dalam kepanikan, tangannya meraba-raba, berusaha menemukan sesuatu untuk dipegang. “Yang teringat hanya anak-anak saya,” kenangnya.
Perempuan 50 tahun itu tak berhenti bersyukur. Meski rumahnya luluh lantak tak bersisa, dia, keempat anaknya, dan sang ayah berhasil selamat dari maut.
“Allah maha besar,” ucap Yusmidar di sebuah mushala yang kini jadi tempat mengungsi sementara. Raut sedih masih jelas terpancar, apalagi baru lima bulan lalu ia ditinggal sang suami.
Malam sebelum longsor, hujan deras tak henti-hentinya. Sekitar pukul tiga, anak bungsunya, Asyifa Nur Rahmadhani yang berusia delapan tahun, tiba-tiba gelisah dan tak mau tidur.
“Ada apa nak?” tanya Yusmidar.
Si kecil yang biasa dipanggil Syifa itu menjawab dengan polos, “Kenapa abak (ayah yang telah meninggal dunia) memanggil mak (ibu)?”
“Perasaan Syifa saja, mana mungkin Abak memanggil,” jawab Yusmidar kala itu, mencoba menenangkan. Dia pun mengajak anaknya rebahan lagi.
Tak lama kemudian, teriakan minta tolong Syifa memecah kesunyian. Disusul suara gemuruh dahsyat yang menggetarkan bumi. Rumah mereka pun ambruk, digenangi lumpur hitam pekat.
Beruntung, di tengah kegelapan dan kepanikan, Yusmidar berhasil meraih sebatang kayu dan berpegangan kuat. Sambil berteriak memanggil nama anak-anaknya, ia berusaha meraba dalam lumpur. Suara jawaban tak kunjung datang. “Yang terdengar hanya suara lumpur yang mengalir deras,” katanya. Saat itu, hatinya sudah pasrah. Ia mengira anak-anak dan ayahnya telah hanyut.
Artikel Terkait
Bertahan di Atas Kursi Jongkok: Kisah Warga Kampung Melayu yang Terpaksa BAB di Tengah Banjir
Bayi Perempuan Ditemukan Tewas di Tas Hijau Stasiun Citayam, Surat dari Ibu Mengungkap Duka
Jembatan Darurat Putus, Warga Agam Dievakuasi Usai Hujan Deras
Lahar Semeru Terjang Dusun Sumberlangsep, Ratusan Warga Mengungsi