Perjalanan awalnya ia tempuh dengan mengayuh sepeda menuju Kota Langsa. Sayang, nasib tak berpihak. Sepedanya rusak di tengah jalan, sementara kondisi jalanan sendiri banyak yang terputus dan rusak parah. Pilihan tinggal satu: berjalan kaki.
Dengan sisa tenaga, ia melanjutkan perjalanan panjang menuju Medan. Beberapa kali ia mencoba menghentikan truk yang melintas, berharap bisa mendapat tumpangan. Tapi selalu ditolak. Rupanya, para sopir truk pengangkut sembako trauma banyak kendaraan mereka yang dijarah warga yang putus asa. Mereka takut mengambil risiko.
"Saya ditolak," katanya singkat.
Keadaan Adi waktu itu benar-benar terjepit. "Uang tidak ada. Identitas saya hanyut semua," sambungnya. Ia seperti orang tak dikenal, terdampar di tengah bencana.
Namun begitu, tekadnya untuk selamat tak padam. Setelah dua hari berjalan kaki melewati rintangan yang sulit dibayangkan, akhirnya pada Sabtu, 6 Desember, ia tiba di Kota Binjai. Di sanalah secercah harapan muncul. Sinyal internet akhirnya menangkap ponselnya yang nyaris mati.
"Di kota Binjai saya akhirnya bisa isi batre HP dan ada jaringan," ucap Adi, cerita perjuangannya mendekati akhir.
Setelah menghubungi keluarga, perjalanan terakhir ia tempuh dengan naik bus menuju Medan. Selamat, tapi dengan kenangan pahit tentang betapa rapuhnya kita ketika alam murka dan sistem penanggulangan bencana tak bekerja seperti yang dibayangkan.
Artikel Terkait
Prabowo Perintahkan Kerahkan Dokter Magang dan Koas ke Daerah Bencana
Gelombang Hitam dan 900 Nyawa: Kisah Pilu di Balik Banjir Bandang Sumatra
Prabowo Tegur Bupati yang Pergi Umrah Saat Daerahnya Dilanda Bencana
Anies Soroti Krisis Kepercayaan Publik: Ruang Kosong Itu Kini Diisi Warga Biaya