Ribuan kilometer dari rumahnya di Tangerang, Noreka Elisabeth memilih mengabdi. Ia mengajar di Sekolah Rakyat Papua, sebuah keputusan yang membuatnya rela berpisah dari keluarga. Bagi Noreka, setiap hari di Jayapura bukan sekadar tugas; itu adalah perjalanan untuk menemukan makna menjadi seorang guru yang sesungguhnya.
Penempatannya di ujung timur Indonesia itu datang mendadak. Awal Juli 2025 dini hari, suaminyalah yang menyampaikan kabar itu. “Sempat terkejut, tidak menyangka,” aku Noreka saat kami bertemu di SRMA 29 Kota Jayapura, Kecamatan Abepura. Rasanya seperti dihempaskan ke sebuah petualangan yang tak terduga.
Keyakinannya pada dunia pendidikan sudah bulat. Setelah lulus dari Jurusan Bahasa Indonesia FKIP UNS Surakarta pada 2023, ia langsung menekuni Program Profesi Guru (PPG) di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang. Perjalanan empat jam antarprovinsi yang harus ia tempuh hampir tiap hari tak dianggapnya sebagai beban. Ia jalani saja, tanpa keluhan.
“Jarak itu bukan penghalang, tapi kesempatan,” ujarnya tegas dalam sebuah keterangan tertulis.
“Saya anggap ini semua adalah proses, sebuah petualangan. Tadinya saya pikir ke sini cuma untuk mengajar. Ternyata salah. Karena petualangan dan pengalaman itulah saya sadar, di sini sayalah yang justru banyak belajar. Belajar jadi guru yang sesungguhnya.”
Di balik semangatnya, ada ridho dari keluarganya. Suaminya, yang bertugas di Lapas Kelas 1 Tangerang, selalu mendukung penuh sejak mereka menikah di 2020. Begitu pula sang mertua, yang bagi Noreka telah menggantikan sosok ibu kandungnya yang telah wafat.
Mereka bahu-membahu menjaga anak balitanya, baik saat Noreka menempuh PPG maupun sekarang saat ia jauh di Papua. Dukungan seperti inilah yang memberinya keberanian.
“Saya melihat visi dan misi sekolah ini sangat mulia,” jelasnya mengenai alasan bergabung dengan Sekolah Rakyat.
“Itu yang menarik perhatian saya. Saya ingin ambil kesempatan emas ini, berkontribusi untuk dunia pendidikan lewat jalan ini.”
Adaptasi di tanah baru ternyata berjalan lancar. Pengelola sekolah dan sesama guru yang kebanyakan juga baru pertama kali menginjakkan kaki di Papua menciptakan rasa kebersamaan yang kuat. Sambutan hangat langsung mereka terima dari Kepala Sekolah, Yanet Berotabui, sejak awal kedatangan.
“Pertama kali jumpa, beliau langsung memeluk kami,” kenang Noreka sambil tersenyum.
“Disambut dengan senyuman dan kehangatan yang sampai sekarang masih terasa. Beliau sudah seperti orang tua kami di sini.”
Kepala sekolah itu bahkan langsung menanyakan kebutuhan pribadi dan perlengkapan mengajar mereka. Bagi Noreka, sikap seperti ini memperkuat keyakinannya bahwa Papua memang membutuhkan kehadiran guru-guru dari Jawa.
Selain menemukan keluarga baru, Noreka mendapat pengalaman tak terduga: dunia public speaking. Ia pernah diundang ke Jakarta untuk mengikuti diklat dan bahkan mengisi siniar di Kemendikbudristek untuk berbagi cerita pengalamannya.
Artikel Terkait
KJP Plus Tahap Kedua Cair, Siswa Jakarta Bisa Belanja hingga Jalan-Jalan Gratis
Banjir Tengah Malam di Kebon Pala, 53 Rumah Terendam 85 Cm
BMKG Peringatkan Hujan Lebat Masih Melanda, Waspada Tanpa Panik
Pramono Anung Buka Konferensi Internasional, Tegaskan Jakarta Kini Garis Depan Kesejahteraan Hewan