Ekonomi Berbasis Gotong Royong dalam Tradisi Manugal
Masyarakat Dayak menerapkan sistem ekonomi gotong royong melalui tradisi Manugal. Dalam praktik berladang kolektif ini, seluruh komunitas bekerja sama menggarap lahan. Pembagian hasil panen tidak didasarkan pada kontribusi tenaga semata, tetapi memperhatikan kebutuhan masing-masing keluarga.
Prinsip "sama keme, sama mangat, sama susah" mencerminkan filosofi bahwa suka dan duka ditanggung bersama. Sistem ini memastikan tidak ada anggota komunitas yang berkekurangan maupun berkelebihan.
Harmoni dengan Alam melalui Ritual dan Kearifan Ekologis
Sebelum membuka lahan baru, masyarakat Dayak melaksanakan upacara Manyanggar sebagai bentuk permohonan izin kepada penjaga hutan. Ritual ini menunjukkan kesadaran bahwa manusia merupakan bagian kecil dari ekosistem yang lebih besar.
Masyarakat Dayak juga menerapkan sistem ladang berpindah (shifting cultivation) yang memungkinkan alam memulihkan diri secara alami. Praktik ini membuktikan bahwa kesejahteraan dapat dicapai tanpa merusak ekosistem yang menopang kehidupan.
Relevansi Huma Betang dengan Pembangunan Berkelanjutan Modern
Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Huma Betang menunjukkan keselarasan yang erat dengan konsep Triple Bottom Line. Keseimbangan antara aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi telah menjadi landasan kehidupan masyarakat Dayak jauh sebelum istilah-istilah modern tersebut populer.
Kearifan lokal ini menawarkan perspektif berharga bagi pencarian solusi keberlanjutan global. Daripada mencari jawaban dari luar, mungkin kita perlu menggali lebih dalam warisan budaya yang telah teruji waktu di tanah air sendiri.
Artikel Terkait
Mampukah Asia Tenggara Capai Netralitas Karbon 2050? Fakta & Tantangannya
Mobil BNI Terbakar di Polewali Mandar, Uang Rp 4,2 Miliar Hangus
Fiksioner dan Pola Pikir Bavarian: Ancaman Nyata bagi UMKM & Koperasi Indonesia?
Pentingnya Pendidikan Karakter di PAUD Menurut Selvi Ananda, Istri Wapres Gibran