Terjadi paradoks dalam respons pemerintah terhadap pelemahan rupiah. Di satu sisi, pelemahan dianggap menguntungkan ekspor, namun realitasnya sebagian besar industri ekspor Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor. Akibatnya, kenaikan biaya produksi justru menggerogoti keuntungan kompetitif yang seharusnya didapat.
Kondisi ini memperburuk daya saing produk Indonesia di pasar global, sementara Malaysia berhasil membangun rantai pasok yang lebih mandiri dan terintegrasi.
Perbandingan Historis dan Proyeksi Ke Depan
Dua dekade lalu, ekonomi Indonesia sempat lebih unggul dibandingkan Malaysia. Namun konsistensi kebijakan dan disiplin fiskal Malaysia selama bertahun-tahun membuahkan hasil berupa stabilitas makroekonomi yang lebih baik.
Analisis dari berbagai lembaga keuangan internasional memproyeksikan ringgit masih memiliki ruang penguatan hingga akhir tahun 2025, dengan potensi mencapai level 4,15 terhadap dolar AS. Sementara itu, rupiah diperkirakan masih akan mengalami tekanan seiring dengan ketidakpastian global dan tantangan domestik.
Implikasi bagi Perekonomian Indonesia
Melemahnya rupiah terhadap ringgit bukan sekadar statistik moneter, tetapi mencerminkan kebutuhan mendesak untuk evaluasi kebijakan ekonomi secara komprehensif. Stabilitas mata uang merupakan indikator kepercayaan internasional yang tidak bisa diabaikan.
Pelajaran penting dari perbandingan ini adalah bahwa pembangunan infrastruktur dan target pertumbuhan ekonomi harus diimbangi dengan penguatan fundamental moneter. Tanpa konsistensi kebijakan dan stabilitas politik, target pertumbuhan ekonomi berisiko tidak berkelanjutan.
Artikel Terkait
Kuota Haji 2026 Ditetapkan 221.000 Jemaah, Ini Syarat Kesehatan & Aturan Baru
KPK Usut Dugaan Korupsi Proyek Monumen Reog Ponorogo, Begini Modusnya
Viral Video Gus Ellham, PBNU Tegaskan Dakwah Harus Jadi Teladan
Viral! PBNU Kritik Gus Ellham Usai Cium Anak Saat Dakwah, Ini Klarifikasinya