Analisis Kereta Cepat Whoosh: Beban Utang, Ketergantungan China, dan Tantangan Fiskal Era Prabowo
Oleh: Gde Siriana Yusuf
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) telah berkembang menjadi lebih dari sekadar proyek infrastruktur. Proyek ini kini mencerminkan tantangan pemerintahan Prabowo Subianto dalam mengelola warisan ekonomi era Jokowi, dengan kompleksitas antara keberlanjutan fiskal, ketergantungan pada Tiongkok, dan efisiensi pembangunan.
Realitas Pembiayaan Whoosh: Dari Estimasi ke Pembengkakan Biaya
Ketika diumumkan pertama kali tahun 2015, estimasi biaya proyek kereta cepat hanya US$5-6 miliar. Namun realisasinya membengkak hingga US$7,2-7,3 miliar (setara Rp115-120 triliun). Pembiayaan utama berasal dari China Development Bank (CDB) dengan porsi pinjaman luar negeri yang dominan.
Meski awalnya dipasarkan sebagai skema B2B tanpa jaminan pemerintah, praktik di lapangan menunjukkan keterlibatan APBN dan BUMN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) dan penjaminan tertentu. Hal ini mengubah utang yang semula dianggap "di luar APBN" menjadi liabilitas publik terselubung.
Strategi Politik Prabowo: Klaim "Duitnya Ada" dan Diplomasi China
Pemerintahan Prabowo mengambil pendekatan berbeda dengan menegaskan kemampuan membayar cicilan utang sebesar Rp 1,2 triliun per tahun. Pernyataan ini bersifat ganda: meredam keresahan fiskal sekaligus menjaga hubungan strategis dengan Beijing.
Prabowo memilih kesinambungan daripada konfrontasi terhadap warisan Jokowi, dengan menempatkan Whoosh sebagai simbol kerja sama Indonesia-Tiongkok. Namun politik ini mengandung kerentanan dalam menyeimbangkan hubungan dengan Beijing sebagai penyandang teknologi dan kreditur besar, sambil mempertahankan kedaulatan fiskal.
Tantangan Operasional dan Tekanan Finansial
Dari sisi operasional, Whoosh menghadapi tekanan signifikan. Studi kelayakan awal memproyeksikan 50-76 ribu penumpang per hari, namun realitas hanya mencapai 16-20 ribu penumpang. Dengan tarif rata-rata Rp150-250 ribu, pendapatan operasional belum cukup menutup biaya operasi plus beban jasa utang.
Untuk mencapai titik impas, diperlukan peningkatan okupansi drastis, integrasi feeder transport yang lebih baik, penyesuaian tarif strategis, dan pengembangan pendapatan non-fare seperti real estate dan kargo.
Artikel Terkait
Ahmad Sahroni Dijatuhi Sanksi Nonaktif 6 Bulan oleh MKD DPR, Ini Sebabnya
Presiden Prabowo Instruksikan Produk UMKM Gantikan Thrifting, Ini Langkahnya
Ghazala Hashmi: Letnan Gubernur Muslim Pertama AS dari Virginia, Sejarah Baru Politik Amerika
Putusan MKD: Sanksi Berbeda untuk 5 Anggota DPR Terkait Demo Ricuh 2025