Santri Melawan! Wajah Baru Imperialisme yang Harus Kamu Tahu Sebelum Terlambat

- Rabu, 22 Oktober 2025 | 11:50 WIB
Santri Melawan! Wajah Baru Imperialisme yang Harus Kamu Tahu Sebelum Terlambat

Hari Santri dan Perlawanan Ideologis: Menjawab Tantangan Kolonialisme Modern

Ketika Imperialisme Berganti Wajah, Santri Tidak Boleh Tunduk

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat

Sejarah mencatat perjuangan santri melawan penjajahan, namun dunia modern sering melupakan peran penting ini. Jika dulu bangsa Indonesia dijajah dengan senjata dan kekerasan, kini penjajahan hadir dalam bentuk utang luar negeri dan teori ekonomi impor. Perbedaannya hanya satu: dulu penjajah berkulit putih, sekarang anteknya ber-KTP Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuk propaganda kemajuan, santri sering menjadi kelompok yang disalahpahami. Mereka dianggap tradisional dan ketinggalan zaman, bahkan dituduh sebagai penghalang modernisasi. Padahal, justru dari pesantrenlah bangsa ini belajar makna kemerdekaan sejati - merdeka berpikir, merdeka beriman, dan merdeka dari tipu daya penjajah.

Peran Santri Melawan Kolonialisme Modern

Santri yang dulu melawan kolonialisme Belanda, kini harus menghadapi kolonialisme gaya baru berupa kapitalisme global, imperialisme budaya, dan oligarki ekonomi yang menukar iman dengan statistik pertumbuhan. Jika dulu penjajah membawa rempah-rempah ke Eropa, kini mereka mengirim produk gaya hidup yang menjerat rakyat dalam utang dan hedonisme.

Perjuangan santri di Surabaya tahun 1945 melawan sekutu kini berlanjut melawan sekutu-sekutu baru: bank internasional, perusahaan digital raksasa, dan lembaga donor yang mengatur kurikulum pendidikan bangsa. Mereka datang dengan senyum, membawa beasiswa dan hibah, namun menyembunyikan agenda penjinakan ideologi Islam yang merdeka dan berdaulat.

Bentuk Kolonialisme Kontemporer

Kita tidak lagi dijajah oleh VOC, tetapi oleh MOU. Tidak lagi diintai kapal perang, tetapi diawasi algoritma. Tidak lagi dipaksa menanam tebu, tetapi dipaksa menanam mental konsumtif.

Ironisnya, sebagian anak negeri bangga menjadi penerjemah kepentingan asing - berlagak sebagai pemikir global padahal hanyalah penjaga gerbang kolonialisme baru. Mereka memuja teori Barat seolah wahyu kedua, sementara menertawakan kitab kuning seolah batu nisan masa lalu.


Halaman:

Komentar