Arya Daru Agen Mata-mata? Ini 3 Teori Mengapa Sang Diplomat Harus Dihabisi Versi Bambang Widjojanto

- Minggu, 27 Juli 2025 | 06:15 WIB
Arya Daru Agen Mata-mata? Ini 3 Teori Mengapa Sang Diplomat Harus Dihabisi Versi Bambang Widjojanto


Misteri yang menyelimuti kematian diplomat muda, Arya Daru Pangayunan, kini memasuki babak baru yang lebih tajam dan penuh tanda tanya.

Praktisi hukum yang juga mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto (BW), menawarkan sebuah hipotesis yang gamblang dan mengerikan: Arya Daru adalah korban pembunuhan.

Dengan latar belakangnya yang kental di dunia investigasi, BW tidak sekadar berspekulasi. Ia membedah kasus ini dan mengidentifikasi setidaknya tiga motif potensial yang sangat kuat, yang semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa kematian Arya bukanlah insiden biasa, melainkan sebuah rekayasa untuk membungkam sesuatu.

"Muncul kenapa ini kalau kalau hipotesisnya atau teorinya yang dikembangkan adalah dia dibunuh ya. Dengan yang tadi disebut dengan locker room itu karena kan pasti ada motif kan," ujar BW, mengawali analisisnya dikutip dari Youtube Bambang Widjojanto.

Misteri Rahasia Bernilai Tinggi dan Ponsel yang Dihilangkan

Motif pertama, menurut BW, adalah yang paling klasik dalam kasus-kasus berisiko tinggi: Arya Daru menyimpan sebuah rahasia.

Rahasia ini bukan sembarang informasi, melainkan sesuatu yang memiliki "nilai" dan dapat menimbulkan "dampak" besar jika terbongkar.

"Saya menemukan sebenarnya ada tiga, Pak. Motif yang pertama memang arya itu menyimpan rahasia. rahasia itu mempunyai nilai. Dan kalau itu dibongkar akan membuat dampak," jelasnya.

Kecurigaan ini diperkuat oleh fakta hilangnya ponsel milik korban. BW menegaskan, dalam konteks ini, kita harus mempertanyakan status hilangnya barang bukti krusial tersebut.

Ini bukan lagi sekadar soal teka-teki, melainkan dugaan kuat adanya power dynamic atau permainan kekuasaan untuk merekayasa situasi.

"Nah, hilangnya itu memang benar hilang atau dihilangkan. itu bagian yang pertama adalah makanya ada power dynamic itu kayak gitu ada rekayasa dugaannya seperti itu," tegas BW.

Mengendus Kejahatan dan Skandal Pejabat

Motif kedua bercabang menjadi dua kemungkinan yang sama-sama berbahaya. Pertama, Arya Daru mungkin sedang dalam proses menindaklanjuti sebuah tindak kejahatan. Kedua, dan ini yang paling sering terjadi, ia memiliki informasi sensitif mengenai perilaku atau skandal pejabat.

"Terus yang kedua dia sebenarnya mempunyai informasi lain yang mungkin dengan ini bisa dua nih Pak. bisa ada kejahatan yang lagi dia tindak lanjuti atau ada informasi penting mengenai kelakuan pejabat," paparnya.

BW menambahkan, pejabat yang dimaksud bisa berada di lingkungan internal Kementerian Luar Negeri atau institusi lain.

Sebagai seorang diplomat muda dengan rasa ingin tahu yang tinggi, sangat mungkin Arya tanpa sengaja menemukan atau mengendus informasi yang tidak seharusnya ia ketahui.

"Kelakuan pejabat bisa pejabat di deparlu. Bisa di tempat lain. Ya, misalnya kelakuan dari. Sebagian orang-orang Indonesia yang ini dia mungkin sebagai biasanya kan kalau anak muda ini kan memang kemampuan apa namanya keingintahuannya kan tinggi," ucapnya.

Skenario Paling Mengerikan: Dianggap sebagai Agen

Dari semua kemungkinan, BW menyebut ada satu skenario yang paling mengerikan dan berpotensi membuka kotak pandora yang jauh lebih kompleks: Arya Daru dianggap sebagai seorang agen intelijen.

Dalam dunia spionase, status "dianggap agen" oleh pihak lawan bisa berakibat fatal. "Atau yang paling mengerikan, Pak, dia dianggap agen," ungkap BW.

Meskipun ia sendiri mengakui bahwa skenario ini mungkin terdengar kurang masuk akal mengingat usia Arya yang masih muda, namun dalam dunia intelijen yang penuh intrik, segala kemungkinan harus tetap diperhitungkan.

"Jadi satu informasi itu dia miliki itu atau dia memang dianggap agen. Tapi kalau ngelihat dia ini muda orang-orang itu agak enggak masuk akal ya," papar BW.

Sumber: suara
Foto: Bambang Widjojanto memaparkan tiga motif di balik kematian diplomat Arya Daru. [Youtube Bambang Widjojanto]

Komentar