Jika Jokowi Mati, Gibran Dibantai Republik

- Sabtu, 12 Juli 2025 | 17:20 WIB
Jika Jokowi Mati, Gibran Dibantai Republik


Tapi sejarah mencatat. Republik tidak pernah bisa dikurung selamanya. 


Ia akan bangun, dan ketika bangun, ia akan menagih harga dari warisan kekuasaan yang terlalu percaya diri melampaui waktu dan hukum.


Gibran– Penerus Tanpa Akar


Gibran tidak lahir dari krisis sejarah. Ia tidak dibentuk oleh luka kolektif rakyat, tidak dibesarkan oleh pengalaman menyusun bangsa dalam perdebatan ideologis, ataupun diuji oleh kebutuhan akan pemimpin yang lahir dari nurani publik. 


Ia hadir sebagai produk dari rekayasa hukum, sebagai pelanjut kuasa dari seorang ayah yang tengah mengkonsolidasikan simbol dan struktur negara.


Dalam politik kekuasaan, ini bukan sekadar regenerasi. Ini adalah bentuk baru dari perpanjangan kekuasaan yang menyaru sebagai suksesi sah. 


Di sinilah bahaya itu muncul: ketika dinasti dibungkus sebagai demokrasi, dan warisan darah disulap menjadi kehendak rakyat.


“Jika republik dibangun di atas kesadaran, maka dinasti adalah upaya sistematis membunuh cara berpikir itu.”


Sebagaimana diajarkan oleh Niccolò Machiavelli, rakyat akan lebih mudah menerima kekuasaan baru jika dibungkus dalam bentuk-bentuk lama yang mereka kenal : nama yang akrab, simbol yang diwarisi, kebiasaan yang tidak asing. 


Inilah strategi klasik dalam politik warisan: mengganti isi kekuasaan tanpa mengganti tampilannya, agar republik tetap tampak hidup, padahal sedang dilucuti dari dalam.


“To hold a new state, it is wise to retain the forms of old institutions…” — Machiavelli, Il Principe


Tradisi lama dihidupkan bukan karena nilai, tapi karena fungsinya sebagai alat penjinak rakyat. 


Mereka dibiasakan dengan wajah penguasa yang sama, nama keluarga yang sama, bahkan narasi kesederhanaan yang dikemas ulang. 


Dengan begitu, kekuasaan bisa mengubah sistem lebih dalam, bahkan tanpa perlawanan yang berarti.


Dan inilah kerusakan besar nya. Ketika rakyat dibiasakan tunduk pada keakraban, bukan pada prinsip. Ketika republik dirubah bukan dengan peluru, tapi dengan nostalgia palsu. Maka Gibran bukan hanya melanjutkan kekuasaan, ia menjadi simbol dari pembunuhan perlahan atas kesadaran republik.


Dalam kerangka tata negara, ini adalah pengkhianatan. Karena konstitusi dibentuk untuk membatasi kekuasaan, bukan mewariskannya. Dan ketika pembatas itu diloncati, lalu dilegalkan oleh lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga pagar-hukum Negara. Maka republik tidak dibunuh oleh kudeta, tetapi oleh penyesuaian yang terus-menerus dibungkus legalitas.


“Republik tak mati oleh peluru. Ia mati oleh kompromi yang berulang dan pembenaran yang terus-menerus.”


Etika publik pun menjadi korban. Gibran tidak hanya gagal membangun kredibilitas intelektual atau kematangan dalam berbicara, tetapi juga gagal menunjukkan arah moral bagi generasinya. Ia bicara sekenanya, menjawab seadanya, dan bersikap seolah jabatan adalah panggung, bukan pertanggungjawaban.


Ini bukan soal usia, tapi soal kesanggupan menanggung makna kekuasaan. Dan karena ia lahir dari proses yang dipaksakan, maka ia tidak memiliki akar dalam kesadaran rakyat. Republik, suatu saat nanti, akan menagih harga dari semua ini.


 “Pohon kekuasaan yang tumbuh dari bibit manipulasi takkan bertahan jika akarnya tak menembus hati rakyat.”


Waktu Adalah Lawan yang Tak Terbendung


Dalam Islam, waktu bukan sekadar penanda usia, melainkan alat penguji kekuasaan.


“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian…”(QS. Al-‘Ashr: 1–2)


Machiavelli pun sepakat, waktu adalah musuh yang tak bisa ditaklukkan dengan pedang atau undang-undang. Ia bekerja diam-diam, namun pasti.


Jokowi hanya punya waktu sepuluh tahun. Itu tak cukup untuk menghapus memori republik. Tak cukup untuk menanam dinasti di hati rakyat. Gibran mungkin menang hari ini, tapi belum tentu bertahan lima tahun ke depan. Sebab dinasti yang tak lahir dari luka sejarah hanya akan menjadi hantu kekuasaan, tak disambut, tak dirindukan, hanya dibebani harapan yang tak pernah diminta.


Republik Bisa Sabar, Tapi Tak Pernah Lupa


 “Kota yang terbiasa bebas tidak bisa dikekang selamanya. Mereka akan bangkit, jika tidak hari ini, maka esok.” — Machiavelli, Il Principe.


Jokowi berhasil menjinakkan lawan, tapi ia tidak membunuh republik. Ia hanya membiusnya sementara. Dan pertunjukan selalu berakhir. Tirai pasti tertutup. Ketika Jokowi tidak lagi ada, secara biologis ataupun politis, Gibran akan berdiri sendirian. Tanpa legitimasi sejarah. Tanpa simpati mayoritas.


Dan saat itu, republik akan datang bukan dengan balas dendam, melainkan dengan koreksi besar-besaran. Ia akan mengoreksi penghinaan terhadap reformasi. Mengoreksi dosa terhadap konstitusi. Mengoreksi warisan kekuasaan yang terlalu rakus ingin abadi.


Kesimpulan


Republik Tidak Mati, Ia Hanya Mengingat.


Kekuasaan bisa dibangun di atas batu bata retorika. Tapi tidak akan bertahan tanpa dasar moral. Dalam filsafat politik, waktu adalah algojo yang tidak bersuara. Ia tidak menyerang. Ia hanya menunggu. Dan kekuasaan yang tak berdiri di atas kesabaran, akan runtuh di hadapan kesadaran.


“Republik bukan dibunuh oleh senjata, tetapi dilupakan oleh pemimpinnya sendiri.”


Namun rakyat Indonesia bukan bangsa pelupa. Mereka menyimpan ingatan. Mereka mencatat. Mereka memaafkan, tapi tidak lupa.


Jika Jokowi mati,  secara biologis, atau secara sejarah,  maka Gibran bukan menjadi simbol harapan, tapi peringatan. Bahwa kekuasaan tanpa perjuangan adalah kesombongan yang menunggu pembalasan sejarah.


Dan waktu tidak pernah memberi ampun kepada siapa pun yang menganggap dirinya kebal darinya.


“Wal-‘Ashr… Innal-insāna la fī khusr…” ***

Halaman:

Komentar