Ada tol, ada swasembada, ada stabilitas (walau dikawal senjata).
Habibie? Ah, Profesor satu ini bukan hanya teknokrat, tapi juga negarawan.
Dia meletakkan dasar demokrasi pasca-reformasi, dan punya otak brilian yang bisa menjelaskan aerodinamika dan demokrasi dalam satu tarikan napas.
Lalu Jokowi? Dikenang karena membangun jalan tol dan… ya, jalan tol lagi.
Dikenang karena memindahkan ibu kota ke hutan dan menjadikan politik sebagai urusan keluarga. Tidak ada pidato monumental.
Tidak ada gagasan besar. Yang ada hanyalah narasi sederhana yang memabukkan: kerja, kerja, kerja. Tapi kerja untuk siapa?
Nah, bila kemudian ada Dedi Mulyadi yang dianggap “Jokowi jilid dua”, rakyat harus mawas.
Kita sedang tidak kekurangan pemimpin yang bisa senyum sambil makan tahu sumedang.
Kita kekurangan pemimpin yang bisa membawa bangsa ini keluar dari jebakan oligarki dan kemiskinan struktural.
Apakah Dedi punya ide besar untuk membenahi pendidikan, membenahi hukum, membenahi moral birokrasi? Atau hanya akan jadi replika Jokowi: ramai di YouTube, sepi di perencanaan?
Bangsa ini terlalu besar untuk diurus oleh presiden yang hanya jadi panutan gaya hidup.
Kita butuh pemimpin yang berpikir lima puluh tahun ke depan, bukan sekadar viral di lima menit ke depan.
Maka, jika benar Dedi akan dipasangkan dengan citra Jokowi, sudah saatnya kita ucapkan: cukup. Jangan lagi.
Satu Jokowi sudah terlalu banyak. Jangan sampai Indonesia jatuh ke lubang yang sama dua kali — apalagi dengan lubang yang sama persis bentuknya.
Indonesia harus menghindari tipikal presiden seperti Jokowi.
Selesai.
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Roy Suryo Buka Suara Soal Ziarah ke Makam Orang Tua Jokowi, Alasannya Bikin Heboh!
Geng Solo Masih Berkeliaran? Ini Tantangan Terberat Prabowo di Tahun Pertama!
Prabowo Disebut Tak Semanis Jokowi, Benarkah Popularitasnya Lebih Tulus?
DPR Sindir Babe Haikal: Ancam Legalkan Produk Non-Halal, Kebijakan Ngawur atau Langkah Berani?