MURIANETWORK.COM - PENGURUS Besar Nahdlatul Ulama mendapatkan jatah mengelola 1.000 dapur makan bergizi gratis atau MBG.
Hal itu disampaikan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa 24 Juni 2025 lalu.
Ketum PBNU yang karib disapa Gus Yahya ini mengungkapkan isi pembicaraannya dengan kepala negara.
Mereka membahas sejumlah program kerjasama pemerintah dengan PBNU, salah satunya proyek seribu dapur MBG.
"Soal MBG kami sudah jalan di sejumlah titik, dan sekarang sangat progresif untuk akselerasi pengembangannya. Mudah-mudahan bisa berjalan dengan lancar karena kami diberi target oleh BGN (Badan Gizi Nasional), misalnya harus bisa mengelola 1.000 titik," kata Yahya.
Jatah proyek pengelolaan 1.000 dapur MBG dari pemerintah itu bukan yang pertama diperoleh PBNU.
Sebelumnya PBNU juga mendapatkan konsesi tambang lewat Peraturan Presiden Nomor 76 yang ditekan Presiden ke-7 Joko Widodo pada Juli 2024.
Salah satu poin dalam Perpres era Jokowi itu terkait pemberian izin usaha tambang bagi ormas keagamaan.
Terbitnya Perpres itu disambut baik oleh PBNU. Yahya kala itu mengatakan alasannya menerima konsesi tambang tersebut adalah untuk membiayai organisasinya.
"NU ini butuh apapun yang halal, yang bisa menjadi sumber pendapatan untuk pembiayaan organisasi," kata Yahya pada Juni 2024 lalu.
Pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan, belakangan diperkuat pada masa pemerintahan Prabowo lewat disahkannya revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Februari 2025 lalu.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai pemberian konsesi tambang dan jatah 1.000 dapur MBG bagi NU semakin menunjukkan upaya pemerintah untuk mengontrol ormas keagamaan.
"Bagi-bagi konsesi, bagi-bagi proyek kepada organisasi masyarakat, khususnya hari ini ormas keagamaan itu sebagai upaya kooptasi secara terbuka," kata Arif saat dihubungi, Rabu 25 Juni 2025.
Kooptasi atau upaya penundukan itu menurutnya demi kepentingan politik pemerintah yang berkuasa.
Dia menduga sejumlah proyek itu bukan gratis, tapi bayarannya dengan mendukung segala keputusan dan kebijakan pemerintah saat ini.
"Selanjutnya juga membuat organisasi masyarakat keagamaan yang mestinya bisa kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, jadi justru mendukung, dan kehilangan nalar kritisnya," ujar Arif.
Selain kehilangan daya kritis, ormas keagamaan bahkan muncul sebagai pembela pemerintah.
Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla yang membela pemerintah soal aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ulil melabeli aktivis yang menolak pertambangan sebagai wahabi.
"Wahabisme itu artinya begini, orang wahabi itu begitu kepinginnya menjaga kemurnian teks, sehingga teks tidak boleh disentuh sama sekali. Harus puritan. Nah, saya mengatakan teman-teman lingkungan ini terlalu ekstrim, seperti menolak sama sekali mining, karena industri ekstraksi selalu pada dirinya dangerous dan itu berbahaya,” kata Ulil dalam wawancara pada sebuah stasiun TV beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, upaya ormas keagamaan yang membela pemerintah juga terlihat saat ramai-ramai tagar "Indonesia Gelap" pada Februari 2025.
Tagar Indonesia Gelap istilah yang digunakan publik di media sosial dan aksi unjuk rasa untuk menggambarkan situasi politik, ekonomi dan sosial Indonesia terkini.
Sebagai pemimpin NU, Yahya merespons tagar itu. Dia mempertanyakan bagaimana Indonesia disebut gelap.
"Itu gelap dari mana? orang ini pemerintahan baru, ini juga baru berapa bulan. Belum ada yang menurut saya bisa diandalkan untuk membuat penilaian," ujarnya kala itu.
Upaya kooptasi terhadap ormas keagamaan ini, lanjut Arif, merugikan masyarakat karena masyarakat dibenturkan sesama mereka di bawah.
Misalnya, ketika publik mengkritisi suatu kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, maka ormas keagamaan dimunculkan sebagai pembela.
Oleh karena itu, ormas keagamaan seharusnya tetap berada pada posisi yang independen dan penyeimbang di luar pemerintahan.
Bukan malah masuk dalam pemerintahan setelah mendapatkan sejumlah proyek.
"Yang jelas NU akan kehilangan independensinya dan justru akan menjadi pembela pemerintah seperti hal tambang. Jangan lupa bahwa dia juga harus kritis dan menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang memperjuangkan hak-hak publik," ujar Arif.
Mengikis Daya Kritis Ormas
Sementara pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai pemerintah yang bekerja sama dengan ormas untuk menyamakan visi dan persepsi. Untuk memajukan bangsa harus saling bergandeng tangan antar semua elemen.
Dia sependapat dengan Arif bahwa kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.
"Hal ini terjadi karena ormas sudah menjadi bagian penting pemerintah. Kan lucu ormas bersikap kritis sementara pada saat bersamaan mendapat program pemerintah," kata Adi.
Menurutnya, kerja sama ormas keagamaan dengan pemerintah dalam situasi yang dilematis.
Sebab ormas memiliki fungsi sebagai gerakan masyarakat sipil.
"Menjaga jarak dengan kekuasaan agar tetap kritis demi check and balance, atau bekerjasama dengan kekuasaan dengan konsekuensi tak bersikap kritis lagi," ujar Adi.
Kepala BGN Dadan Hindayana membenarkan kalau mereka memberikan proyek seribu daput MBG kepada PBNU.
Dadan mengatakan NU adalah salah satu mitra BGN dalam penyelenggaran program prioritas Prabowo tersebut.
"PBNU ini akan menjadi mitra BGN dalam intervensi gizi di pesantren yang di bawah naungan NU," kata Dadan saat dihubungi.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Warga India Berusaha Mendapat Simpatik Ikut Upacara Agama Yahudi, Namun Yang Terjadi Dirinya Justru Ditendang & Dihinakan
Polda Metro: Laporan Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Masih Penyelidikan, Ada 2 Kasus yang Ditangani
Terkuak! Muhadjir Effendy Ungkap Penyebab Jokowi Alergi, Diduga Kuat Gegara Benda Misterius Ini Saat di Vatikan
Terungkap! Anies Baswedan Dipecat Karena Ingin Membongkar Ijazah Palsu