Oleh: Aza El Munadiyan S.Si MM*
DI tengah era digital, semakin banyak kepala daerah yang tampil layaknya influencer. Konten-konten dramatis seperti marah-marah saat sidak, pemecatan ASN di depan kamera, atau blusukan yang disiarkan langsung kini menjadi strategi komunikasi politik utama.
Dalam studi political branding, ini disebut sebagai politik viralisme: pendekatan kekuasaan yang mengandalkan efek viral demi membangun popularitas jangka pendek, alih-alih membangun sistem.
Namun pertanyaannya: apakah popularitas ini juga menghasilkan efektivitas kebijakan? Apakah retorika ini menyelesaikan persoalan rakyat yang lebih struktural seperti kemiskinan, pengangguran, atau akses pendidikan? Sayangnya, banyak yang tidak.
Gaya Kepemimpinan Populis dan Politik Simbolik
Fenomena ini tidak lepas dari gaya populisme lokal yang makin kuat di Indonesia. Menurut Moffitt (2016), populisme kontemporer cenderung menonjolkan krisis, dramatisasi, dan pencitraan "kedekatan dengan rakyat", tetapi tidak selalu menyelesaikan masalah struktural. Dalam konteks kepemimpinan daerah, ini diperkuat oleh studi Antlöv et al. (2016) yang menyebut banyak kepala daerah Indonesia terjebak dalam "simbolisme populis", bukan reformasi kelembagaan. Pemimpin seperti ini lebih fokus pada pertunjukan, bukan prosedur. Pada akhirnya, kualitas kebijakan menjadi nomor dua setelah kualitas kamera.
Artikel Terkait
Malam Pergantian Tahun di Braga: Ramai Pengunjung, Sepi Kembang Api
Tumpukan Sampah Ngumpet di Babelan Akhirnya Dibongkar
Rocky Gerung Soroti Intimidasi Pengkritik Pemerintah: Ini Bisa Picu Kerusuhan Sosial
Bandar Narkoba Semarang Diciduk, Aset Rp 3,1 Miliar Disita Polisi