Lepas dari Jokowi, Semua Happy

- Rabu, 11 Juni 2025 | 03:10 WIB
Lepas dari Jokowi, Semua Happy


PERSEPSI yang terbangun di publik bahwa kekuasaan Presiden Prabowo Subianto diintervensi Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi. Sampai ada istilah Geng Solo. Istilah ini seperti menunjukkan adanya eksistensi kekuatan yang dikendalikan oleh Jokowi dari Solo. Sekali lagi, ini persepsi publik.

Persepsi ini dilatari oleh pertama, pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres yang kontroversial. Terlebih ketika muncul isu Gibran akan mengganti Prabowo di tengah jalan.

Kedua, banyak sekali menteri titipan dari Jokowi. Orang-orang Jokowi menduduki jabatan strategis di kabinet Prabowo.

Ketiga, intensitas pejabat yang sowan ke Solo cukup memancing persepsi bahwa Jokowi dianggap masih punya kekuatan. Terutama ketika peserta didik Sekpimmen Polri menyambangi rumah Jokowi di Solo pada bulan April lalu.

Persepsi adanya intervensi Jokowi semakin meyakinkan ketika Letjen TNI Kunto Arief Wibowo, putra Wapres ke-6 RI Try Sutrisno, dimutasi jabatannya (dari Pangkopgabwilhan I ke Stafsus KSAD) setelah sang ayah memprakarsai pemakzulan Gibran. Meski mutasi ini segera dibatalkan. Diduga karena Prabowo tak menginginkan mutasi ini.

Lepas benar tidaknya, persepsi publik ini telah memicu semakin membesarnya gerakan "anti Jokowi" karena Jokowi dianggap masih sebagai ancaman. 

Satu sisi, Jokowi punya beban terhadap karir anak dan menantu. Mereka belum cukup matang untuk dilepas. Terutama adanya kontroversi yang membersamai proses karir mereka selama ini. Di sisi lain, Jokowi dituntut untuk netral dan lepas dari dinamika kekuasaan yang sedang dikomandoi oleh Prabowo.

Tanpa upaya serius untuk meyakinkan kepada publik bahwa tidak ada Geng Solo dan tidak ada intervensi Jokowi kepada kekuasaan Prabowo, maka perlawanan kepada Jokowi akan semakin keras dan makan waktu panjang. 

Tidak menutup kemungkinan akan terjadi gerilya perlawanan terus menerus dan butuh waktu lama untuk berhenti. 

Perseteruan Jokowi dengan para aktivis akan terus berlanjut. Ini berpotensi menjadi bola salju. Jika "tanpa kekuasaan" Jokowi terus akan meladeni berbagai tuntutan dan konflik ini, maka perlawanan akan semakin membesar. 

Berbagai kelompok yang selama ini kecewa terhadap Jokowi dimungkinkan untuk melakukan konsolidasi perlawanan yang lebih sistemik dan masif. Mereka adalah para aktivis, kader PDIP, para pendukung Anies Baswedan dan bahkan para pendukung Prabowo. Boleh jadi juga para kader Demokrat dan pendukung Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang partainya pernah hampir saja lepas.

Mereka yang pernah kecewa terhadap Jokowi dimungkinkan bersatu, dan infonya sedang terjadi konsolidasi di antara mereka. 

Di sisi lain, kekuatan Jokowi secara bertahap "dipreteli" satu persatu. Jaksa Agung "puter balik" dan tak lagi berada di tangan Jokowi. Sebentar lagi akan ada restrukturisasi di tubuh Polri dan TNI. KPK terus mendapatkan tekanan untuk bersikap profesional. 

Di sisi lain, Prabowo sudah memberi sinyal akan adanya resuffle kabinet. Siapa saja yang akan diresuffle? Dalam resuffle kabinet, pertimbangan politik biasanya lebih dominan dari pada kebutuhan akan profesionalitas. 

Setelah pergantian Kapolri, Panglima TNI dan para menteri, nyaris kekuatan Jokowi memudar.

Sebelum resuffle terjadi, akan sangat strategis jika Jokowi melangkah lebih cepat dengan meyakinkan kepada publik bahwa ia akan bersikap netral dan tidak melakukan intervensi kekuasaan. 

Ini penting untuk berdamai dengan kedamaian dan ketenangan hidup, serta menjauhkan suasana konflik yang tidak perlu diperpanjang. 

Bicara tentang kesalahan, mana ada presiden yang tidak bersalah? Secara hukum, salah tetap salah dan harus bertanggung jawab. Idealnya memang seperti itu. Tapi, politik Indonesia punya kelaziman yang seringkali melampaui hukum. Suka tidak suka, itulah fakta sejarahnya.

Kenapa tuntutan kepada Jokowi lebih kencang dari pada kasus BLBI dan Bank Century misalnya? Di antara pemicunya adalah pilihan "strategi konflik" yang selama ini telah mewarnai jalan kekuasaan Jokowi. 

Strategi konflik beroperasi sejak tahun 2016, jelang Pilgub DKI Jakarta. Plus dugaan politik dinasti yang membuat banyak pihak masih terus merasa khawatir.

Keributan ini akan mereda, setidaknya berkurang intensitasnya, jika Jokowi berhasil meyakinkan rakyat bahwa ia tidak lagi berpolitik praktis. 

Langkah pertama, tunjukkan ijazah asli dan cabut tuntutan kepada mereka yang selama ini menuntut. Kedua, hindari pertemuan politis yang memicu prasangka adanya intervensi. Ketiga, hindari narasi yang bisa dipersepsi sebagai bentuk permusuhan.

Dengan menghindari urusan politik praktis, Jokowi bisa hudup tenang, menikmati hasil kerjanya selama tujuh tahun di Solo, dua tahun di Jakarta dan 10 tahun memimpin Indonesia. Jokowi perlu belajar menjadi bapak bangsa dengan menghindari segala bentuk konflik berbau politik.

Terhadap anak-anak dan menantu, Jokowi perlu memberikan ruang agar mereka mandiri dan mematangkan dirinya sendirinya. Sudah waktunya melepas mereka. 

Mereka harus diperlakukan sebagai politisi dewasa untuk menghadapi segala risiko politiknya sendiri. Disinilah akan ada proses kematangan pada mereka.

Dengan absennya Jokowi dari dunia politik akan membuat semua happy. Jokowi dan keluarga happy. Prabowo dan para pedukungnya happy. Begitu juga dengan rakyat Indonesia. Semua happy.

Oleh: Tony Rosyid
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Komentar