Saran GM: Fokus ke Gibran Saja

- Kamis, 08 Mei 2025 | 07:45 WIB
Saran GM: Fokus ke Gibran Saja

Maka, demikian logika GM, penting --bukan sekadar wajar-- bagi publik untuk tahu dasar intelektual Gibran. Apa rekam jejak akademiknya? Apakah ia sampai di sana karena kompetensi, atau semata karena relasi dan revisi konstitusi? Tentu, kalau kita bertanya begini, akan ada buzzer yang berkata, “Kamu iri, ya?”


Tidak, Bung. Kami bukan iri. Kami cuma sadar, walau sedikit terlambat, bahwa republik yang kita cintai ini terlalu mahal untuk ditukar dengan ijazah misterius dan politik keluarga. Bayangkan, jika semua anak pejabat bisa langsung masuk istana hanya bermodal nama belakang. Republik atau dinasti?


Di negeri ini, kalau Anda menjual bakso di lokasi tertentu tanpa izin, bisa disita gerobak Anda, atau paling tidak diusir dari sana. Tapi kalau Anda menjual kekuasaan tanpa transparansi, malah diberi panggung dan pengawal.


GM tak sedang nyinyir. Ia sedang mengingatkan. Dalam sunyi, ia menyodorkan cermin ke wajah kita semua. Supaya kita bertanya: kenapa kita lebih sibuk membongkar masa lalu yang tak bisa diubah, daripada menguliti masa kini yang sedang menentukan masa depan?


Masa kini dan juga masa depan--maksudnya Gibran. Dan jangan salah: ini bukan hanya soal Gibran. Ini tentang siapa pun yang merasa bisa melompat tangga kekuasaan tanpa memperlihatkan tangga yang dipijaknya. Tentang sistem yang memberi jalan pintas bagi yang punya nama, tapi jalan buntu bagi yang hanya punya otak dan etika.


Maka mari kita usut. Bukan karena benci, tapi karena cinta. Cinta pada republik yang sehat, adil, dan percaya bahwa jabatan bukan warisan, tapi amanat. Sebab, kalau pertanyaan kritis terus dianggap sebagai fitnah, jangan salahkan jika suatu hari kita memilih presiden dari hasil undian arisan keluarga.


Fokus ke Gibran. Dan kalau nanti terbukti ijazah Gibran valid? Hebat. Rasa penasaran publik terbayar. Demokrasi menang. Dan kita semua bisa tepuk tangan --bukan karena sirkusnya, tapi karena akal sehatnya.


Tapi kalau ternyata tidak? Maka kita bukan sekadar menonton sirkus. Kita sedang tinggal di dalamnya. Selamat datang di Republik Ijazah. Di mana gelar adalah jubah, dan kejujuran hanyalah ilusi panggung.


OLEH: AHMADIE THAHA

Penulis adalah Wartawan Senior

Halaman:

Komentar