Hari Senin, 9 Rajab 1447 Hijriah, atau 29 Desember 2025, dunia maya mendadak riuh. Tagar tentang syahidnya Abu Ubaidah meledak, jadi yang paling tren tak cuma di Palestina, tapi juga di seluruh Dunia Arab. Kabar itu menyebar begitu cepat, mengejutkan banyak orang.
Sebenarnya, kabar tentang nasib Abu Ubaidah sudah beredar berbulan-bulan dengan versi yang simpang siur. Di satu sisi, Israel ngotot mengklaim telah berhasil membunuhnya. Di sisi lain, ada harapan samar bahwa ia hanya terluka parah dan masih bertahan. Keraguan itu akhirnya terjawab. Lewat pengumuman resmi dari jubir baru Brigade Al Qassam, sang juru bicara legendaris yang telah bertugas dua dekade itu dipastikan telah gugur.
Ternyata, yang diumumkan syahid bukan cuma Abu Ubaidah. Pemimpin militer tertinggi Al Qassam, Muhammad Sinwar atau Abu Ibrahim juga termasuk di dalamnya. Dia adalah saudara kandung Yahya Sinwar yang lebih dulu syahid. Posisinya sangat vital, menggantikan Muhammad Dheif yang dulu mengumumkan dimulainya Thufan Al Aqsha.
Banyak yang menyebut Muhammad Sinwar sebagai otak di balik banyak hal. Dialah yang mendesain taktik pertempuran, sekaligus arsitek di balik jaringan terowongan bawah tanah Gaza yang begitu rumit dan mengagumkan.
Daftar para syuhada yang diumumkan hari itu panjang. Ada Muhammad Syabanah (Abu Anas), panglima Al Qassam untuk wilayah Rafah. Konon, beliau gugur saat mengawal Muhammad Sinwar dalam sebuah misi militer di Gaza selatan. Lalu ada Hakam Al Isa (Abu Umar), yang punya peran khusus mempelajari dan melatih strategi-strategi tempur. Tak ketinggalan Raid Saad (Abu Muadz), sang panglima yang mengurusi produksi dan pengembangan persenjataan, dari peluru, senjata ringan, hingga drone yang dibuat dalam tekanan blokade.
Namun, dari semua nama itu, kabar tentang Abu Ubaidah-lah yang paling ditunggu dunia. Dan kini resmi: dia telah syahid. Kafeyah yang selama ini menutupi identitasnya dibuka. Terungkaplah nama aslinya: Hudzaifah Samir Abdullah Al Kahlut, dengan kun-yah Abu Ibrahim. Kabar pilu menyertainya: istri dan anak-anaknya juga turut gugur. Hanya anak pertamanya, Ibrahim, yang selamat meski dalam kondisi luka parah.
Popularitas Abu Ubaidah tak lepas dari caranya menyampaikan informasi. Setiap penjelasannya tak pernah sekadar laporan angka. Selalu ada siraman ayat, ada ruh yang membakar semangat juang, baik bagi para mujahid di lapangan maupun masyarakat luas di Gaza, Palestina, dan seluruh dunia Islam. Di saat media arus utama kerap dikendalikan narasi Israel, dia hadir dengan "kacamata" yang berbeda. Memberi kabar gembira, menyalakan harapan. Makanya, ada yang menjulukinya "menteri kebahagiaan".
Yang menarik, pengumuman syahid para panglima ini justru disampaikan oleh Abu Ubaidah yang baru. Penampilannya mirip: tegas, suara bergetar penuh keyakinan, postur tubuh yang tegap. Gaya bahasanya pun punya ciri khas yang sama lugas, padat makna, dihiasi ayat, disertai salam untuk ketabahan warga Gaza, terima kasih untuk para pendukung, dan tentu saja, ancaman keras untuk Israel. Semuanya terasa sangat familiar.
Dari sini kita tahu, "Abu Ubaidah" ternyata bukan nama seseorang. Ia adalah sebuah posisi, sebuah nama jihad media yang diwariskan.
Artikel Terkait
Malam Tahun Baru di Aceh Tamiang Berubah Jadi Malam Waspada Banjir
Tahun Baru Tanpa Kembang Api, Masyarakat Pilih Doa dan Donasi
Surabaya Menyambut 2026: Dari Taman Bungkul yang Ramah Keluarga Hingga Keriuhan Jalan Tunjungan
Pimpinan Negara Pantau Malam Tahun Baru, Situasi Dinyatakan Kondusif