Pasar modal syariah kita saat ini, kalau mau jujur, masih didominasi oleh korporasi-korporasi besar dan pemain global. Padahal, siapa tulang punggung ekonomi riil? UMKM lokal. Mereka justru kesulitan mendapat tempat. Inilah yang jadi sorotan dalam sebuah diskusi publik belum lama ini.
Nurhastuty Wardani, seorang peneliti dari INDEF, tak sungkan menyampaikan kritik pedas.
"Pasar modal kita dimonopoli korporasi besar dan global, bukan lokal. Bagaimana pasar modal syariah mengakomodasi teman-teman lokal?" tanyanya, Selasa lalu.
Memang, secara aturan dan instrumen, kita sudah punya banyak. Mulai dari saham syariah, sukuk negara, hingga reksa dana syariah. Tapi di lapangan, ceritanya lain. Likuiditas terbatas, mindset investor yang masih cenderung jangka pendek, dan literasi yang belum merata semua itu jadi hambatan nyata. Tantangannya kompleks.
Karena itu, Nurhastuty mendesak OJK untuk berani berinovasi. Ia mengusulkan skema IPO syariah khusus untuk UMKM dan perusahaan kelas menengah. Skema ini harus lebih sederhana, dengan pengungkapan yang disesuaikan dan biaya yang lebih ringan.
"Begitu besar jumlah UMKM di Indonesia, bagaimana mereka bisa naik kelas? Harus diakomodasi OJK. Jadi lebih inklusif, bukan eksklusif," tegasnya.
Di sisi lain, pertumbuhan investor ritel syariah memang patut disyukuri. Namun, peningkatan kuantitas ini belum diimbangi dengan kualitas emiten dan tata kelola yang optimal. Literasi pun masih terpusat di Jakarta dan beberapa kota besar saja. Jangkauannya belum luas.
Intinya, diperlukan pergeseran paradigma. Regulasi tidak boleh lagi sekadar mengecek kotak 'compliance', tapi harus benar-benar menjadi instrumen untuk membangun ekonomi syariah yang lebih sehat dan merata.
"Roadmap perlu diperbarui dan menjangkau banyak kelompok pemangku kepentingan, khususnya UMKM, industri halal, dan proyek berkelanjutan," jelas Nurhastuty.
Ia juga menyoroti pentingnya memperkuat sukuk proyek dan tematik, seperti green sukuk atau social sukuk. Integrasi dengan ekosistem ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf) juga dinilai bisa memberi dampak sosial yang lebih besar. Untuk mendorong hal ini, Kementerian Keuangan didorong memberikan insentif fiskal, misalnya keringanan pajak untuk imbal hasil sukuk tematik.
"SBSN tidak hanya sebagai instrumen pembiayaan APBN, tapi juga bisa jadi patokan (benchmark) untuk pengembangan sukuk korporasi dan proyek sektoral," ujarnya.
Instrumen seperti Cash Wakaf Link Sukuk (CWLS) punya potensi besar. Ia bisa dikembangkan lebih jauh sebagai alat pembiayaan sosial yang produktif, menyentuh sektor-sektor prioritas seperti UMKM, industri halal, hingga layanan publik berbasis syariah. Tapi semua ini butuh sinergi. Kemenkeu, OJK, dan kementerian teknis harus duduk bersama membuat kerangka kebijakan yang selaras.
Artikel Terkait
Risma Bawa Solusi Ternak Mini untuk Korban Banjir Agam
Prabowo Sambut Tahun Baru di Tengah Pengungsi Batang Toru
Guru Tunggu Tunjangan, Masalah Retur Masih Jadi Tantangan
Prabowo Sambangi Korban Bencana, Huntara Batang Toru Ditargetkan Rampung Sebelum Lebaran