Ada ironi yang begitu besar di dunia pendidikan tinggi kita. Sementara pemerintah begitu getol mendorong universitas-universitas untuk mengejar peringkat dunia, para dosennya justru sibuk berjuang di Mahkamah Konstitusi. Perjuangan mereka sederhana: menuntut upah yang layak. Ini adalah hak paling dasar, tapi ternyata masih harus diperjuangkan mati-matian.
Gugatan yang diajukan Serikat Pekerja Kampus (SPK) ini bukan cuma urusan gaji semata. Lebih dari itu, ini adalah cermin retaknya komitmen negara terhadap pembangunan manusia. Bagaimana mungkin fondasi utama pendidikan, yakni para pengajarnya, justru hidup dalam ketidakpastian?
Bayangkan saja. Seorang doktor yang menghabiskan bertahun-tahun untuk studi, setiap akhir bulan harus pusing memikirkan cara membayar listrik atau membeli kebutuhan anak. Ini bukan cerita karangan. Ini kenyataan pahit yang dialami banyak dosen, terutama yang muda dan di kampus swasta. Akhirnya, mereka pun "turun gunung". Melalui SPK, gugatan judicial review dilayangkan ke MK. Tuntutannya jelas: Dosen berhak sejahtera.
Gaji Dosen Kita: Tertinggal Jauh dari Tetangga
Selama ini, profesi dosen selalu dibungkus dengan narasi "pengabdian". Tapi, narasi mulia itu kerap disalahgunakan untuk membenarkan upah yang rendah. Coba lihat ke negara tetangga, perbandingannya sungguh memilukan.
Di Malaysia, gaji dosen bisa mencapai Rp18 hingga 25 juta per bulan. Di Singapura? Bisa ratusan juta rupiah. Sementara di sini, banyak dosen, terutama yang non-ASN, gaji bersihnya hanya berkutat di angka Rp2 juta. Bahkan ada yang lebih rendah. Angka ini kalah dari upah buruh pabrik di beberapa kawasan industri yang sudah punya standar UMK jelas. Menyedihkan, bukan?
Menurut sejumlah saksi, akar masalahnya ada pada regulasi yang tak sinkron. Data tahun 2025 pun menempatkan gaji dosen Indonesia sebagai yang terendah di Asia Tenggara. Posisinya benar-benar mengkhawatirkan.
Masalah "Kasta" dan Status yang Diskriminatif
Gugatan SPK ini punya alasan hukum yang kuat. Mereka menyoroti beberapa pasal dalam UU Guru dan Dosen yang ibarat "macan kertas" hanya bagus di atas kertas. Ambil contoh Pasal 14 yang menyebut dosen berhak mendapat penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Atau Pasal 15 yang mewajibkan pemerintah memberi gaji pokok dan tunjangan.
Artikel Terkait
Serangan Drone Guncang Kediaman Putin di Tengah Masa Genting Perundingan
Bencana Sumatera: Alarm Mahal dari Pembangunan yang Abai Lingkungan
Gempa 2,5 Magnitudo Guncang Gayo Lues Dini Hari
Gelora Tanpa Kursi, Lobi Pilkada Lewat Koalisi