Kedua lembaga itu mendesak pemerintah menghentikan segala bentuk militerisasi dalam program prioritas. Mereka juga meminta penunjukan personel TNI dan Polri aktif di jabatan sipil diakhiri. TNI-Polri, menurut mereka, harus kembali ke fungsi utamanya. Sementara jabatan sipil harus diisi berdasarkan meritokrasi murni.
Kepala Pusat Studi HAM UII, Eko Riyadi, menjelaskan lebih rinci. Peran militer, katanya, kini menguat di hampir seluruh aktivitas pemerintahan. Dari hal-hal yang remeh hingga posisi-posisi penting kenegaraan. Contoh nyatanya, tentara terlibat dalam pengelolaan pangan hingga menduduki jabatan sipil. Pola seperti ini, bagi Eko, menunjukkan anggapan bahwa militer lebih kompeten daripada sipil.
"Bila terjadi konflik dan penyelewengan program, maka masyarakat langsung berhadapan dengan militer," ujar Eko.
Ia memberi contoh konkret. Di struktur Badan Gizi Nasional saja, ada lima purnawirawan TNI dan satu dari Polri. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) didominasi militer dengan pola terpusat. Begitu pula di program lumbung pangan, yang melibatkan Kementerian Pertahanan dan pembentukan batalyon teritorial. Bahkan dukungan militer untuk Koperasi Merah Putih dianggapnya seperti operasi militer selain perang.
Dampaknya jelas: supremasi sipil dalam negara demokrasi melemah. Kewenangan pemerintah daerah pun tergerus, karena program dijalankan tanpa mempertimbangkan konteks lokal.
Masduki, Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, menambahkan pandangan yang lebih luas. Menurutnya, tidak ada contoh negara dimana unsur militer dominan justru berhasil membawa transisi dari otoritarian menuju demokrasi. Lihat saja Thailand dan Myanmar, yang dikuasai junta militer.
Di Indonesia, otoritarianisme ala Orde Baru disebutnya hidup kembali. Bahkan ada nostalgia yang mengkhawatirkan. Ia menyebut slogan-slogan seperti "Piye kabare? Iseh penak zamanku to?" yang beredar. Slogan itu, meski terkesan santai, punya muatan serius: membangkitkan memori bahwa zaman Soeharto lebih baik.
"Demokrasi dan reformasi telah berhenti," kata Masduki dengan nada prihatin.
Sebagai penggagas Forum Cik Di Tiro, gerakan masyarakat sipil yang menentang militerisme, ia melihat demokrasi Indonesia sekarang hanya terjebak pada prosedur. Substansinya hilang. Akibatnya, yang berjalan adalah praktik otokratik legalisme. Pemerintahan dengan pemimpin otoriter yang justru memanfaatkan prosedur hukum seperti undang-undang untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya, mengendalikan masyarakat, dan melemahkan fungsi kontrol demokrasi.
Artikel Terkait
Gempa 2,5 Magnitudo Guncang Gayo Lues Dini Hari
Gelora Tanpa Kursi, Lobi Pilkada Lewat Koalisi
Setelah Serangan Saudi, UEA Tarik Personel Terakhirnya dari Yaman
Ironi Pendidikan Tinggi: Dosen Gugat Negara Demi Upah Layak di Tengah Gengsi Kampus Dunia