Pemerintah pusat bilang, aksi buruh adalah aspirasi yang sah. UMP sudah sesuai regulasi, daya saing ekonomi harus dijaga. Buruh diminta damai dan kondusif. Dan mereka patuh. Tak ada pembakaran, tak ada perusakan. Mereka cuma meminta hidup yang layak. Ironisnya, permintaan paling sopan ini justru dianggap yang paling merepotkan.
Selalu saja buruh yang diminta memahami kondisi negara. Tapi negara sendiri kerap enggan memahami detak jantung buruh. Buruh dipaksa paham istilah makroekonomi, sementara para pembuat kebijakan seolah alergi melihat daftar belanja bulanan mereka. Padahal, tanpa buruh, tak akan ada grafik pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan, tak ada daya saing, tak ada rekor "tertinggi di Indonesia".
Sebenarnya, memahami jeritan buruh yang minta Rp6 juta itu tak perlu gelar profesor ekonomi. Cukup pakai nalar waras. Kalau seseorang bekerja keras di kota termahal, tapi masih harus pusing menutup kebutuhan dasar, maka yang salah bukan teriakannya. Tapi sistem yang membuatnya harus berteriak.
Membela buruh dalam hal ini bukan sikap politik. Itu refleks kemanusiaan paling dasar. Sayangnya, di negeri kita, refleks seperti itu kadang dianggap berlebihan.
"Abang juga buruh, kenapa nggak ikut demo?"
"Bukan, saya ini pengangguran profesional. Demo nggak bisa, soalnya nggak ada organisasinya."
Ups.
(Ketua Satupena Kalbar)
Artikel Terkait
Satu Semester Berjalan, Sekolah Rakyat Tunjukkan Kemajuan Holistik
Kepala Dinsos Samosir Ditahan, Dana Bencana Rp1,5 Miliar Raib di Tangan Pejabat
Jalan Berlubang di Duren Sawit, Warga Waswas Setiap Melintas
Serangan Siber Berujung Ancaman: Selebgram Sherlyannavita Jadi Sasaran Kebencian Terkoordinasi