Ranah Minang
Ranah Nan Rancak di Labuah
Alen Y. Sinaro
Ranah Minang selalu dipuji dalam pepatah. Dipeluk bukit, diselimuti hijau yang memanjakan mata. Tapi ternyata, di balik panorama yang sopan itu, tersimpan amarah yang sudah lama dipendam. Sawah teratur, lereng rapi. Semuanya tampak seperti janji yang ditepati. Namun, janji itu cuma untuk mata yang lewat cepat saja.
Cobalah masuk lebih ke dalam. Maka yang akan kau dengar bukan lagi desau angin, melainkan suara lain. Suara tanah yang terkelupas. Hulu sungai yang disayat-sayat. Akar pohon dicabut dari doa. Di sini, hijau bukan penjaga. Ia cuma tirai. Menutupi pekerjaan yang dikerjakan diam-diam di baliknya izin yang sudah diteken, peta yang dirapikan untuk kepentingan tertentu, dan kebisuan yang harganya murah sekali.
Lalu, hujan pun turun. Jangan salahkan hujan. Air cuma menjalankan tugasnya. Persoalannya, sungai yang kehilangan hutan tak lagi mengenal kata sabar. Ia membawa serta lumpur, batu, dan kayu. Menghantam rumah tanpa ampun. Menelan ladang. Bahkan menghapus alamat-alamat yang dulu dikenal.
Orang-orang ramai menyebutnya bencana alam. Padahal, ini lebih mirip jadwal yang sudah disusun lama. Sebuah konsekuensi yang sebenarnya bisa ditebak.
Setelah semuanya terjadi, barulah panggung dibuka. Kamera… action!
Artikel Terkait
Basarnas Akhiri Pencarian Korban Banjir Aceh, Beralih ke Fase Pemantauan
Kemenhaj Beri Kelonggaran, Korban Bencana di Tiga Provinsi Bisa Lunasi Bipih Hingga 2026
Israel Pecah Belah Dunia Islam? Pengakuan Somaliland Picu Badai Diplomasi
Surabaya Tegaskan Hukum Satu-satunya Jalan Atas Pengusiran Nenek Elina