Membahas soal hukum meninggalkan salat, kita bisa merujuk pada sejumlah kitab klasik. Imam Ibnu al-Qayyim, misalnya, menguraikannya secara khusus dalam karyanya Al-Ṣalāh. Tak jauh berbeda, Imam al-Żahabi dalam Al-Kabā’ir dan Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al-Zawājir juga menyusun bab tersendiri. Mereka tak hanya membahas salat, tapi juga zakat, puasa Ramadan, dan haji. Ini menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini.
Nah, kalau kita tilik sejarah, ada fakta menarik. Salah satu pemicu Perang Riddah di masa Khalifah Abu Bakar r.a. adalah penolakan sebagian bangsa Arab untuk menunaikan zakat. Jadi, urusan menunaikan kewajiban pokok dalam Islam ini jelas bukan hal sepele. Apalagi bagi mereka yang tidak dibiasakan sejak kecil.
Memang, jadi muslim sejak lahir atau sudah mengucapkan syahadat saja belum cukup. Nyatanya, masih banyak yang abai terhadap kewajiban-kewajiban yang mestinya ditunaikan.
Lalu, apa kaitannya dengan akhlak? Begini. Suatu perilaku entah baik atau buruk jika sudah jadi kebiasaan dan dilakukan dengan mudah tanpa banyak pertimbangan, itulah yang disebut akhlak. Berangkat dari sini, Syaikh Mutawalli al-Sya‘rawi dalam bukunya Khuluq al-Muslim fi al-Qur’ān menjadikan mendirikan salat sebagai salah satu bentuk akhlak seorang Muslim. Ia merujuk pada Surah Ibrahim ayat 31.
Logikanya sederhana. Seorang Muslim yang sudah paham betul bahwa dirinya adalah hamba Allah yang tugas utamanya beribadah, dan ia juga mengerti substansi ajaran agamanya, maka menunaikan salat akan terasa ringan. Bahkan, bisa jadi ia merasa ada yang kurang jika sehari saja tak salat. Dalam kondisi seperti ini, salat sudah mendarah daging, menjadi bagian dari karakternya.
Pendapat serupa diungkapkan Syekh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Khuluq al-Muslim.
Dari sini jadi jelas, ya. Rukun Islam itu sejatinya fondasi utama untuk membentuk akhlak dan perilaku mulia. Hubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dan dengan lingkungan sekitar, semua berporos di sana. Tanpa fondasi itu, mustahil kita bicara tentang akhlak mulia dalam makna yang sesungguhnya.
Perkembangan Moral Anak
Ngomong-ngomong soal pembiasaan, kita perlu lihat teori perkembangan anak. Jean Piaget, psikolog ternama asal Swiss, punya pandangan menarik. Menurutnya, di rentang usia 2 sampai 9 tahun, perkembangan kognitif dan moral anak mengalami lompatan yang signifikan.
Di usia 2-7 tahun, anak mulai bisa merepresentasikan dunia lewat kata dan gambar. Kemampuan berpikir simboliknya meningkat, begitu juga koneksi antara apa yang ia rasakan dengan tindakan fisiknya.
Secara moral, berdasarkan pengamatannya pada aturan permainan anak, Piaget menyebut usia 6-9 tahun sebagai tahap heteronomous morality atau morality of constraint.
Pada tahap ini, anak memandang aturan sebagai sesuatu yang sakral, tetap, dan tak bisa diubah-ubah. Aturan datang dari otoritas yang ia hormati. Ia juga punya keyakinan kuat tentang immanent justice: bahwa pelanggaran aturan pasti langsung berujung pada hukuman.
Dalam perspektif Islam, fase ini kira-kira sejajar dengan fase tamyīz. Saat anak mulai bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Fase ini terjadi sebelum ia balig.
Nah, karena saat balig nanti ia akan dibebani seluruh kewajiban syariat, maka dalam “kurikulum pendidikan Islam”, fase tamyīz inilah saat yang tepat untuk mulai membiasakan ibadah. Salat lima waktu, puasa, mulai diperkenalkan dan dilatih.
Makanya, saat anak menginjak usia tujuh tahun, orang tua punya kewajiban mengajarkan tata cara salat dan memerintahkannya untuk melaksanakannya. Latihan puasa di bulan Ramadan juga dianjurkan jika ia sudah mampu. Ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Saw:
“Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan salat pada usia tujuh tahun…” (HR. Ahmad).
Artikel Terkait
Surabaya Tegaskan Hukum Satu-satunya Jalan Atas Pengusiran Nenek Elina
Kiev Gelap dan Gersang di Musim Dingin, Serangan Rudal Rusia Tewaskan Satu Warga
Ijazah Jokowi Terbukti Asli, Kubu Penggugat Malah Terbelah
Jakarta Kurangi Titik Perayaan Malam Tahun Baru, Hanya 8 Lokasi yang Digelar