Di usianya yang baru 17 tahun, perjalanan hidup Sadam Ar Rauf Alif sudah jauh dari kata mulus. Wajahnya tenang, tutur katanya santun, tapi di balik itu ada beban keluarga besar, ekonomi yang nyaris selalu limbung, dan perjuangan tanpa henti hanya untuk bisa tetap duduk di bangku sekolah.
Kondisi keluarganya memang tak mudah. Ayahnya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik cat, dan sekarang ancaman PHK mengintai karena perusahaan sedang mengurangi karyawan. Ibunya berusaha membantu dengan membuka jasa cuci baju dari rumah, tapi penghasilannya tak menentu. Padahal, mereka harus menghidupi dan menyekolahkan tujuh orang anak.
Di tengah situasi serba sulit itulah Sadam berjuang keras untuk tetap sekolah. Jalannya berliku, penuh rintangan.
Ia masih ingat betul masa setelah lulus SD di tahun 2021. Pandemi Covid-19 menghantam, ekonomi keluarga pun ambruk. Sadam sempat mencoba masuk pondok pesantren lewat jalur hafalan. Sayangnya, dia hanya betah enam bulan.
“Waktu itu aku keluar gara-gara masih nggak kuat. Kaget dengan kehidupan pesantren,”
kenangnya.
Usai keluar pesantren, bukan berarti langsung bisa lanjut sekolah. Sadam justru harus menganggur selama setengah tahun berikutnya. Sekolah? Impian yang terlalu mahal saat itu.
“Gara-gara Covid, ekonomi orang tua memburuk. Enam bulan itu aku nggak lanjut sekolah,”
ujarnya polos.
Nasib baik akhirnya menyapanya. Sadam bisa melanjutkan ke SMP Al-Islam Gunungpati, sekolah swasta yang gratis. Dari sana, dia berhasil lolos ke SMKN 1 Semarang, mengambil jurusan Elektro yang memang jadi pilihannya sendiri. Tapi, masalah baru langsung datang menghadang.
Meski sekolah negeri, kebutuhan penunjangnya berat. Jurusan elektro menuntut banyak alat praktik, termasuk laptop. Belum lagi jarak rumah ke sekolah yang jauh, sekitar 11 kilometer. Awalnya orang tuanya masih bisa mengantar, tapi lama-lama hal itu jadi beban tersendiri.
“Awal-awalnya diantarin orang tua. Terus alhamdulillah ada teman yang nawarin nebeng motor karena searah,”
cerita Sadam. Nebeng motor teman jadi solusi darurat kala itu.
Namun begitu, Sadam sadar betul. Semakin tinggi kelas, kebutuhannya akan makin banyak. Itu artinya beban untuk orang tuanya juga kian berat. Pikirannya selalu dipenuhi kecemasan akan hal itu.
Di titik terendah itulah, secercah harapan muncul. Melalui pendamping PKH, Sadam dapat tawaran untuk masuk Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 45 Semarang. Keputusannya untuk pindah ternyata mengubah segalanya. Di SRT, ia tinggal di asrama, belajar dengan tenang, dan yang paling penting: bebas dari hantuan biaya.
“Kalau di sini semua sudah ditanggung, jadi tenang, enggak membebani orang tua lagi,”
Artikel Terkait
WFA Bikin Arus Balik Lebaran Mundur, Polri Siaga Hadangi 2,8 Juta Kendaraan
Paus Fransiskus dan Bill Gates: Dua Suara, Satu Bumi yang Merintih
Sepuluh Jembatan Darurat Akhirnya Beroperasi, Pulihkan Akses Tiga Provinsi Terdampak Bencana
Lampung Ramai, Penumpang Kereta Melonjak Jelang Libur Natal dan Tahun Baru