Guru Besar IPDN Tuding Pilpres Langsung Sebagai Warisan Kolonial yang Tak Sesuai Jati Diri

- Jumat, 26 Desember 2025 | 16:25 WIB
Guru Besar IPDN Tuding Pilpres Langsung Sebagai Warisan Kolonial yang Tak Sesuai Jati Diri

Di sisi lain, Labolo tak menampik bahwa praktik pilpres langsung selama 21 tahun terakhir punya masalah serius. Ia menyoroti kondisi masyarakat yang rentan.

“Masyarakat bodoh dan miskin potensial dimanipulasi oleh sekelompok orang dungu dan nekat,” ujarnya.

Prinsip one man one vote, dalam keadaan seperti ini, justru bisa jadi bumerang. Suara dianggap setara, tapi kapasitas dan tanggung jawab moral pemilih kerap luput dari pertimbangan.

Menariknya, ia menggarisbawahi bahwa mayoritas negara di dunia, termasuk Amerika Serikat yang sering dianggap kiblat demokrasi, tetap memakai sistem perwakilan. Bahkan Yunani Kuno, yang kerap jadi rujukan, hanya menerapkan demokrasi langsung untuk polis atau negara kota dengan penduduk terbatas dan hak pilih yang eksklusif.

“Ketika negara menjadi kompleks, demokrasi langsung pun ditinggalkan dan bermetamorfosis menjadi demokrasi representatif,” jelasnya.

Lebih jauh, dampaknya disebut merambat ke mana-mana. Dari politik uang, perpecahan sosial, sampai eksploitasi sumber daya alam. Triliunan rupiah menguap dalam setiap siklus pemilihan, namun hasilnya bagi kesejahteraan rakyat dinilai tak signifikan. Yang muncul justru elit politik oportunis.

“Pemilihan langsung telah menjadi mekanisme barbarian, sarat transaksi kekuasaan, yang berujung pada perusakan lingkungan, kemiskinan struktural, dan pengkhianatan kepentingan bangsa,” tulisnya dengan nada keras.

Di akhir tulisannya, Prof. Labolo mendesak agar Indonesia berani keluar dari romantisme pemilihan langsung. Saatnya, katanya, evaluasi ulang sistem demokrasi kita agar selaras dengan jati diri. Ia mendukung gagasan untuk menata ulang demokrasi, dibarengi pendidikan politik yang serius bagi para elit. Tujuannya satu: agar Indonesia tidak terperosok lebih dalam.


Halaman:

Komentar