Mitra atau Pekerja? Dilema Hukum di Balik Janji Fleksibilitas Ekonomi Gig

- Jumat, 26 Desember 2025 | 16:06 WIB
Mitra atau Pekerja? Dilema Hukum di Balik Janji Fleksibilitas Ekonomi Gig

Dunia kerja terus berubah, dan teknologi selalu jadi penggeraknya. Sekarang, kita hidup di era ekonomi gig model kerja berbasis aplikasi yang menjanjikan fleksibilitas waktu dan peluang cari uang harian. Fenomena ini bukan cuma milik Amerika atau Eropa, tapi sudah menjalar ke seluruh Asia, termasuk Indonesia. Ekspansi kapitalisme platform, seperti pernah diulas Nick Srnicek, memang nyata adanya.

Di sini, aplikasi digital benar-benar mengubah cara orang bekerja. Jutaan orang kini menggantungkan hidup pada platform seperti Gojek, Grab, atau Maxim. Belum lagi ShopeeFood, marketplace, dan berbagai situs freelance. Daya tarik utamanya jelas: fleksibilitas. Siapa pun bisa kerja kapan saja. Tapi, di balik janji kebebasan itu, tersimpan persoalan serius. Status hukum mereka bagaimana? Perlindungan sosialnya ada nggak? Masa depan pekerja gig seperti apa?

Kalau kita lihat ke belakang, dulu struktur kerja jauh lebih formal. Ada kontrak, jam kerja jelas, upah minimum, hak cuti, dan jaminan sosial. Semua itu diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Bahkan, identitas jabatan dipetakan rapi lewat Klasifikasi Baku Jabatan Indonesia (KBJI) dari BPS, yang mengelompokkan pekerjaan berdasarkan keterampilan dan fungsi. Struktur ini memberi kepastian.

Namun begitu, realitas sekarang jauh berbeda. Batas-batas pekerjaan jadi cair. Sopir ojek online nggak lagi disebut pekerja, tapi “mitra”. Kurir aplikasi disebut “pekerja mandiri”. Banyak kerja digital ini bahkan belum tercatat di KBJI, sehingga posisi hukumnya kabur sulit diakui secara kelembagaan.

Sebelum ekonomi gig merebak, sopir angkutan umum atau buruh pabrik punya sistem formal dengan perlindungan negara. Kini, nasib pekerja platform sering cuma bergantung pada rating di aplikasi, insentif harian, dan algoritma yang mengatur segalanya. Ini bukan sekadar ganti alat kerja. Ini perubahan mendasar atas definisi pekerjaan itu sendiri.

Alasan orang masuk ke dunia gig beragam. Ada yang kesulitan dapat kerja formal, tertekan ekonomi, atau butuh uang cepat. Ironisnya, banyak dari mereka justru kerja 10 sampai 14 jam sehari, seperti tercatat dalam laporan ILO. Survei Universitas Indonesia tahun 2023 memperkirakan lebih dari 7,2 juta orang sudah bekerja di sektor ini. Angka itu menunjukkan, ekonomi gig bukan lagi alternatif. Ia sudah jadi fondasi ekonomi digital Indonesia.

Di sisi lain, status mereka tetap “mitra”. Bukan pekerja. Imbasnya, hak atas upah minimum, perlindungan keselamatan, jaminan sosial, dan mekanisme penyelesaian sengketa pun tidak mereka dapatkan.


Halaman:

Komentar