Dulu, sekitar sepuluh tahun silam, istilah fatherless punya makna yang cukup gamblang. Itu merujuk pada anak-anak yang tumbuh tanpa sosok ayah di rumah, biasanya karena perceraian, perpisahan, atau meninggal dunia. Ayahnya absen secara fisik, dan itu jelas terlihat.
Tapi coba lihat sekarang, di tahun 2025. Permasalahan ini ternyata berubah bentuk, jadi lebih rumit dan samar. Banyak ayah hari ini secara administratif tercatat sebagai ayah, secara biologis punya anak, tapi kehadirannya hanya sebatas itu. Dia ada di rumah, namun seolah tak benar-benar ada. Interaksinya dengan anak serba terbatas, lebih bersifat fungsional tanya PR selesai atau tidak, uang jajan cukup atau tidak bukan relasional yang hangat.
Menurut sejumlah pengamat, perubahan ini tak lepas dari dinamika kehidupan modern. Tuntutan kerja yang tiada henti, tekanan ekonomi, dan serbuan gawai ke dalam rumah telah mengubah segalanya. Rumah seringkali cuma jadi tempat transit antar kesibukan, bukan lagi ruang pengasuhan yang hangat. Inilah salah satu ciri dari apa yang disebut keluarga jenuh.
Akibatnya, intensitas pengasuhan pun merosot. Tanggung jawab itu banyak yang dialihkan ke sekolah, atau yang lebih memprihatinkan ke gawai di tangan anak. Padahal, tantangan yang dihadapi anak-anak zaman sekarang jauh lebih berat. Mereka hidup di dunia yang penuh stimulasi, kompetisi ketat, dan ekspektasi tinggi. Ada paparan informasi tanpa filter, tekanan sosial media, dan semua risiko baru bagi perkembangan jiwa mereka.
Di tengah kondisi seperti ini, justru peran ayah sebagai pemberi arah, batasan, dan rasa aman menjadi semakin krusial.
Pengasuhan yang baik butuh keseimbangan. Ibu dan ayah punya peran yang saling melengkapi. Ayah, dengan caranya sendiri, punya kontribusi khas dalam membangun disiplin, keberanian, dan kendali diri anak. Ketegasan yang dibalut kelekatan emosional dari seorang ayah membantu anak memahami batas dan tanggung jawab.
Tanpa itu, anak bisa tumbuh tanpa struktur yang jelas. Mereka rentan mencari figur otoritas di luar rumah, yang belum tentu membawa dampak baik.
Riset-risis pun membuktikan hal serupa. Anak dengan keterlibatan ayah yang minim berisiko lebih besar mengalami masalah perilaku dan kesulitan mengatur emosi. Di sisi lain, ibu yang menanggung beban pengasuhan sendirian juga menghadapi risiko kelelahan emosional yang luar biasa. Situasi ini, kalau dibiarkan, bisa menggerus ketahanan keluarga secara keseluruhan.
Sayangnya, tuntutan peran utama ayah sebagai pencari nafkah seringkali menyita hampir semua waktu dan perhatiannya. Alhasil, kesempatan untuk terlibat dalam pengasuhan pun menyusut, dan tugas itu akhirnya banyak dibebankan ke ibu. Padahal, kehadiran ayah tak bisa digantikan oleh materi semata. Anak butuh ayah yang benar-benar ada, yang mendengar, yang terlibat dalam proses tumbuh kembang mereka.
Artikel Terkait
Tragedi di Atap Afrika: Helikopter Jatuh di Kilimanjara Tewaskan Lima Orang
Atap Parkiran Ambruk di Koja, Hanya Selangkah dari Anak-anak yang Sedang Bermain
USDT Diam di Dompet? Ini Strategi Hasilkan Untung Tanpa Deg-degan
Healing di Akhir Tahun: Tren atau Kebutuhan Jiwa yang Mendasar?