Banjir bandang yang menghantam sejumlah wilayah Sumatra di penghujung 2025 benar-benar tak bisa lagi disebut sebagai peristiwa rutin. Kerusakannya parah, korbannya banyak. Ini jelas menunjukkan ada yang salah dalam cara kita memperlakukan alam. Relasi antara kegiatan ekonomi, tata kelola ruang, dan daya dukung lingkungan ternyata sangat rapuh.
Dari Aceh, Sumatera Utara, sampai Sumatera Barat, bencana ini tak cuma memutus jalan atau menggenangi permukiman. Ia melumpuhkan denyut ekonomi dan mengubah lanskap ekologi di daerah hulu dan aliran sungai. Bagi para ahli, peristiwa semacam ini jarang berdiri sendiri. Ia adalah puncak gunung es dari proses panjang deforestasi, alih fungsi lahan, ekspansi konsesi, plus tata kelola ruang yang abai terhadap keseimbangan alam. Cuaca ekstrem memang jadi pemicu, tapi kerusakan ekologislah yang menentukan seberapa parah dampaknya bagi masyarakat.
Risiko Lingkungan, Ancaman Nyata bagi Perekonomian
Selama ini, dunia usaha kerap memisahkan isu lingkungan dari kalkulasi bisnis. Risiko lebih banyak dilihat dari fluktuasi pasar atau perubahan kebijakan. Namun, bencana di Sumatra membuka mata: kerentanan ekologi punya konsekuensi langsung yang nyata bagi usaha.
Bayangkan saja. Akses logistik terputus, rantai pasok kacau, fasilitas produksi rusak, dan biaya pemulihan membengkak. Itu semua adalah dampak konkret yang langsung dirasakan perusahaan. Intinya, ketika lingkungan di sekitar wilayah operasi tak lagi tangguh, aktivitas ekonomi pun jadi rentan dan mudah ambruk.
Dalam perspektif ekonomi politik lingkungan, kondisi ini jelas menunjukkan satu hal: ketahanan bisnis mustahil dibangun di atas ekosistem yang rapuh. Lingkungan yang terdegradasi akan terus memproduksi risiko baru baik sosial maupun ekonomi.
2026: Saatnya Berhenti Berpura-pura
Memasuki tahun 2026, tekanan terhadap praktik keberlanjutan bakal makin keras. Masyarakat sudah makin cerdas, tak mudah lagi dibuai oleh narasi tanggung jawab sosial perusahaan yang cuma jadi slogan atau laporan tahunan belaka. Investor, konsumen, dan warga terdampak mulai menuntut konsistensi. Mereka ingin bukti, bukan janji.
Dalam literatur, pendekatan simbolik seperti ini sering disebut "greenwashing" atau keberlanjutan semu. Tampak hijau di permukaan, tapi tak menyentuh akar masalah. Bencana di Sumatra adalah contoh mahal dari pendekatan usang tersebut. Ketika daya dukung lingkungan akhirnya runtuh, kerugian yang muncul bisa jauh melampaui keuntungan jangka pendek yang pernah dikeruk.
Keberlanjutan Bukan Aksesori
Pelajaran penting dari rentetan bencana ini adalah perlunya menggeser cara pandang. Keberlanjutan tak boleh lagi dipandang sebagai pelengkap atau sekadar program CSR yang berdiri sendiri. Ia harus jadi strategi inti.
Artikel Terkait
Ayah Absen di Rumah: Fenomena Baru yang Menggerus Ketahanan Keluarga
Ribuan Tawon Serbu Jembatan Cisomang, Lalu Lintas Tak Terganggu
Durian dari Warga Gayo Lues untuk Awak Helikopter Bantuan
Guru Lelah, Istilah Berganti: Rebranding atau Pengaburan Masalah?