Dalam skala masyarakat, kelupaan ini sering dilembagakan. Jadi kebiasaan, jadi jargon, bahkan jadi kebijakan. Saat lupa sudah jadi hal kolektif, kesombongan berubah jadi norma. Yang kuat merasa wajar mengatur, yang mayoritas merasa sah menilai, dan yang “berbeda” diminta menyesuaikan diri. Di titik ini, moralitas diuji bukan oleh niat baik, tapi oleh struktur. Beranikah kita mengingat kulit kita yang rentan, di tengah sistem yang menyuruh kita memakai zirah?
Mengingat asal bukan berarti menolak kemajuan. Ini justru cara agar kemajuan nggak kehilangan jiwa. Tanpa ingatan, etika cuma jadi prosedur kaku; kebaikan cuma jadi kepatuhan buta; keadilan cuma angka di kertas. Mengingat asal mengembalikan manusia ke pusat moralitas bukan sebagai penguasa nilai, tapi sebagai penanggung jawabnya. Dari sana, empati bukan lagi pilihan yang sentimentil, tapi konsekuensi yang logis.
Camus pernah bilang dengan tegas:
Tapi etika yang dia maksud bukan sekumpulan aturan mati. Ia adalah kesadaran yang harus terus dijaga. Etika lahir dari ingatan ingat akan batas, akan kulit, akan dari mana kita datang. Tanpa ingatan itu, manusia jadi liar bukan karena nalurinya, tapi karena keyakinannya sendiri. Dia merasa menang, merasa benar, dan merasa nggak perlu lagi bercermin.
Orang yang benar-benar menang, sebenarnya nggak merasa perlu koar-koar soal kemenangannya. Dia nggak menertawakan yang aneh, karena dia tahu keanehan adalah cermin dari kemungkinan lain. Dia nggak melupakan kulitnya, karena sadar batas adalah guru terbaik. Moralitasnya nggak berisik, tapi konsisten. Dia nggak sibuk cari pembenaran, karena sudah berdamai dengan asal-usulnya.
Pada ujungnya, moral itu adalah seni mengingat. Mengingat bahwa sebelum jadi orang yang benar, kita adalah manusia. Mengingat bahwa sebelum menilai, kita pernah dinilai. Mengingat bahwa kulit dengan segala kerapuhannya adalah pengingat paling jujur tentang kesetaraan kita. Kalau lupa melahirkan kesombongan, maka mengingat adalah tindakan etis itu sendiri. Dalam ingatan, kesombongan kehilangan pijakannya, dan moralitas menemukan kedalamannya yang sejati bukan di atas orang lain, tapi di antara sesama.
Catatan dari Cilandak, Aendra Medita
Artikel Terkait
Prabowo Sampaikan Ucapan Natal, Serukan Persatuan dan Doa untuk Korban Bencana
Pedagang Emas Palsu di Sukajadi Tembak Korban Pakai Airsoft Gun Saat Dikejar
Banjir Bandang Sumatra 2025: Alarm Terakhir bagi Dunia Usaha
Korban Tewas Banjir-Longsor Sumatera Tembus 1.135 Jiwa, Hampir 490 Ribu Orang Mengungsi