Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lagi-lagi jadi perhatian. Kali ini, karena tetap berjalan saat liburan sekolah. Ya, di saat sebagian besar siswa sudah libur sejak 22 Desember hingga awal Januari, mereka justru diminta datang ke sekolah. Tujuannya satu: mengambil paket makanan dari program andalan pemerintah itu.
Niat awalnya jelas mulia: menjamin asupan gizi anak sekolah setiap hari. Tapi, praktiknya saat sekolah sepi justru memicu polemik. Di satu sisi, ada argumen bahwa kebutuhan gizi anak tidak boleh berhenti hanya karena libur. Di sisi lain, muncul kritik pedas dari anggota DPR yang menilai langkah ini janggal, bahkan berpotensi menyimpang dari tujuan utamanya.
Isu pun melebar. Mulai dari kualitas makanan yang didominasi kemasan, masalah distribusi, sampai tudingan bahwa ini cuma cara untuk mengejar serapan anggaran sebelum tutup tahun.
Di lapangan, ceritanya beragam. Ambil contoh di Kabupaten Langkat. Di sana, siswa mendapat paket berisi susu, buah, dan kurma. Porsinya pun beda-beda, disesuaikan dengan jenjang kelas. Sekilas, ini upaya menjaga standar. Tapi, benarkah makanan kemasan bisa memenuhi kebutuhan nutrisi yang seimbang?
Pertanyaan itulah yang diangkat Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris. Ia secara terbuka mempertanyakan relevansi pembagian MBG saat liburan.
Sayangnya, menurut Charles, kenyataan di lapangan justru berkata lain. Distribusi makanan kemasan saat libur, selain soal gizi, juga rentan terhadap pengawasan yang longgar. Ia khawatir, esensi program untuk memperbaiki status gizi anak secara nyata justru hilang.
Artikel Terkait
Kapolda Lampung Turun Langsung Pantau Kesiapan Arus Mudik di Bakauheni
Gus Yahya Ungkap Upaya Islah dengan Rais Aam PBNU Belum Berjawab
Gubernur Sumsel Blusukan ke Gereja, Pastikan Natal Aman dan Kondusif
Kardinal Suharyo Serukan Natal 2025 untuk Korban Bencana Sumatera