Bangsa Bermartabat: Tentang Kesetiaan, Harga Diri, dan Amanah Sejarah
Martabat sebuah bangsa tak pernah lahir dari gemerlap kemewahan. Ia juga tak tumbuh dari pujian yang kosong. Tidak. Martabat dibangun dari kesetiaan yang tulus. Ia ditempa oleh pengorbanan tanpa pamrih, dan dijaga oleh keberanian untuk menyuarakan kebenaran meski harus berdiri sendirian. Ini bukan sekadar slogan. Martabat adalah sikap batin kolektif yang hidup dalam sanubari setiap warga. Saat martabat dijaga, bangsa itu berdiri tegak. Tapi ketika ia diperjualbelikan, keruntuhan terjadi perlahan, seringkali tanpa suara.
Pelajaran sejarah menunjukkan pola yang nyaris selalu berulang. Sebuah bangsa jarang sekali langsung dirobohkan oleh musuh dari luar. Kehancuran justru berawal dari dalam. Dari warganya sendiri yang menukar nurani dengan kepentingan sesaat, dan menggadaikan harga diri demi kenyamanan yang semu. Pengkhianatan itu tak selamanya datang dengan senjata atau teriakan. Kadang, ia menyelinap lewat kata-kata manis, sikap menjilat, dan pembenaran-pembenaran yang terdengar rasional namun hampa dari kebenaran.
Nah, soal penjilat ini. Mereka bukan cuma individu yang mencari untung. Mereka adalah gejala, tanda runtuhnya etika di ruang publik. Penjilat hidup dari ketundukan buta. Mereka bertumbuh subur dalam kepalsuan, dan bertahan dengan mengorbankan kepentingan bersama. Coba lihat sejarah. Di bangsa mana pun, penjilat selalu berkumpul di sekitar kekuasaan yang rapuh. Sebab kekuasaan yang benar-benar kuat tak butuh pujian palsu. Yang ia butuhkan justru kritik yang jujur.
Karena itulah, bangsa yang bermartabat akan menolak budaya menjilat. Martabat dan ketakutan takkan pernah bisa hidup berdampingan. Bayangkan ketika warganya takut berkata benar. Bangsa itu kehilangan suaranya. Saat kebenaran dikalahkan oleh kepentingan, hukum pun berubah fungsi jadi alat. Keadilan hanya jadi dekorasi belaka. Di titik itulah, sebuah bangsa mungkin masih punya nama, tapi ia sudah kehilangan jiwanya.
Lalu, apa arti kesetiaan sebenarnya? Kesetiaan kepada bangsa jelas bukan kesetiaan buta pada seorang figur atau pada tahta kekuasaan. Tidak. Kesetiaan sejati adalah kesetiaan pada nilai-nilai luhur: keadilan, kebenaran, dan tentu saja, kepentingan rakyat. Siapa pun yang mengatasnamakan bangsa untuk membenarkan penindasan, ketidakadilan, atau kebohongan, sejatinya sedang merampas makna bangsa itu sendiri.
Di sisi lain, bangsa bermartabat paham betul bahwa kekuasaan itu amanah, bukan hadiah. Amanah menuntut tanggung jawab besar, bukan pemujaan. Coba perhatikan. Ketika kekuasaan dikelilingi oleh para penjilat, ia kehilangan cermin untuk berkaca. Tanpa cermin, kekuasaan tak lagi bisa melihat rakyatnya. Ia tak mendengar jeritan penderitaan, dan pada akhirnya, ia lupa akan batas-batasnya sendiri.
Jadi, siapa yang menjaga martabat bangsa? Jawabannya adalah warga yang berani berpikir, bukan yang cuma patuh membabi buta. Percayalah, kepatuhan tanpa kesadaran itu sendiri adalah bentuk pengkhianatan yang halus. Bangsa besar memerlukan warganya yang kritis. Sebab kritik yang konstruktif justru bentuk tertinggi dari kepedulian. Mereka yang benar-benar cinta pada bangsanya, takkan membiarkannya berjalan menuju jurang sambil asyik bertepuk tangan.
Artikel Terkait
Liburan Puncak 2025: 671 Angkot Dilarang Operasional, Sopir Dapat Kompensasi Rp 800 Ribu
Libur Panjang, Anak-Anak Magetan Tetap Antre Jemput Ransum Sekolah
Natal 25 Desember: Menguak Akar Kontroversi di Balik Perayaan
Anggota DPR Kritik Kebijakan Larangan Truk Saat Mudik: Logistik Tak Boleh Berhenti