Rajab datang lagi. Seperti biasa, bulan ini hadir tanpa gegap gempita. Tak ada euforia yang menyambutnya. Banyak orang cuma sekadar tahu kalender berganti, lalu kembali tenggelam dalam kesibukan harian. Padahal, dalam Islam, Rajab itu spesial. Ini bulan haram bulan yang dimuliakan Allah. Seharusnya, kedatangannya jadi alarm, pengingat untuk berubah.
Allah berfirman:
Para ulama sepakat, Rajab termasuk salah satunya. Sejak dulu, bulan ini dijaga kehormatannya. Dosa di dalamnya bahayanya berlipat, sebaliknya amal kebaikan nilainya melonjak. Tapi ironis, kan? Sekarang, Rajab sering kehilangan makna. Ia lewat begitu saja, tanpa meninggalkan bekas.
Padahal, Rajab bukan cuma bulan suci yang kita diamkan saja. Ini bulan pemanasan ruhani, persiapan mental menyambut Ramadan. Para salaf dulu punya doa khusus:
Doa itu bukan basa-basi. Ia menunjukkan persiapan Ramadan itu dimulai jauh hari. Dan Rajab adalah garis startnya.
Namun begitu, tantangan kita sekarang jauh lebih kompleks. Hidup di era digital yang serba sekuler, waktu habis di layar, hati dikendalikan algoritma. Nilai-nilai Islam pelan-pelan terpinggirkan. Rajab datang di tengah umat yang lelah, generasi yang gamang, dan kehidupan yang makin jauh dari aturan-Nya. Justru di titik inilah seruan Rajab harusnya terdengar paling keras.
Rajab mengingatkan: perubahan butuh lebih dari sekadar niat baik. Ia butuh taubat yang serius. Meninggalkan maksiat yang sudah dianggap biasa. Menghentikan dosa-dosa kecil yang kita anggap remeh. Karena di bulan haram, konsekuensinya bisa jauh lebih besar.
Artikel Terkait
Pemerintah Siapkan Diskon Massal untuk Antisipasi 60 Juta Pemudik Nataru
Sekretaris Kabinet dan Kepala BMKG Bahas Persiapan Cuaca Libur Akhir Tahun
Lari 10 Ribu Pasang Kaki di Borobudur, Kumpulkan Miliaran Rupiah untuk Korban Bencana
Tes DNA Dilakukan, Nasib Tiga Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi Masih Gelap