Oleh: Rusli Abdul Roni
Bencana selalu jadi ujian berat. Bukan cuma soal kesiapan teknis, tapi lebih jauh lagi, ia menguji moral dan arah kepemimpinan sebuah bangsa. Saat korban berjuang sekadar untuk bertahan hidup, retorika administratif dan prosedur baku tak lagi punya tempat bersembunyi. Ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab: apakah kekuasaan ini dijalankan sebagai amanah untuk melindungi nyawa, atau cuma jadi alat kendali yang acuh pada penderitaan?
Nah, dalam Islam, kekuasaan itu jelas amanah. Nanti bakal dipertanggungjawabkan. Kekuasaan tidak bebas nilai. Konsep maqāṣid al-syarī‘ah menempatkan perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs) sebagai tujuan syariat yang paling utama. Artinya, dalam situasi darurat seperti bencana, setiap keputusan harus diukur dari satu hal: sejauh mana nyawa diselamatkan, penderitaan diringankan, dan martabat manusia dipulihkan.
Namun begitu, yang kita saksikan di lapangan seringkali berbeda. Jurang antara kebijakan dan realita korban itu lebar. Bantuan macet, solidaritas warga dibatasi, keputusan ditunda-tunda dengan alasan koordinasi atau kedaulatan. Prinsipnya sih tidak salah. Tapi dalam kerangka maqāṣid, hal-hal tadi cuma sarana, bukan tujuan akhir. Kalau sarana malah mengalahkan tujuan, ya hilanglah ruh keadilan dari kebijakan itu sendiri.
Korban bencana hidup dalam dunia yang sama sekali berbeda. Dunia mereka penuh keterbatasan: lapar, akses kesehatan yang putus, trauma, dan ketidakpastian yang mencekam. Di tengah kondisi seperti ini, menunda bantuan bukanlah tindakan yang netral. Itu adalah keputusan yang konsekuensinya langsung terasa: bisa berarti hidup atau mati. Menurut sejumlah saksi dan relawan di lapangan, inilah yang sering terjadi. Dalam pandangan maqāṣid, keputusan semacam ini patut dipertanyakan secara serius.
Keadilan dalam Islam bukan sekadar keseimbangan. Ia adalah keberpihakan yang aktif kepada mereka yang lemah dan terzalimi. Kebijakan yang adil itu bukan yang paling aman secara politik, melainkan yang paling berani melindungi kelompok paling rentan. Di sisi lain, ketika negara punya kemampuan menolong tapi memilih diam demi menjaga citra atau stabilitas, maka keadilan sudah dikorbankan untuk kepentingan yang sempit.
Memang, sebagian pejabat berargumen bantuan berisiko disalahgunakan. Kekhawatiran ini wajar, tapi tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak bantuan sama sekali. Ada kaidah penting: mencegah kerusakan jangan sampai menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Membiarkan orang menderita demi menghindari potensi penyimpangan adalah ketidakseimbangan etis yang fatal. Ini jelas tidak sejalan dengan semangat syariat.
Artikel Terkait
Nordik: Rahasia Kawasan yang Tak Lagi Anggap Tetangga Sebagai Ancaman
Dua Pendaki Sleman Hilang di Lereng Merapi, Pencarian Masih Digencarkan
Kisah Sutiadi: Selamat dari Maut di Tikungan Maut Tol Krapyak
Gibran Minta Maaf, Penanganan Bencana di Sumatera Dinilai Belum Optimal