Lampu Tempel dan Pembungkaman: Ketika Reset Indonesia Dihalangi di Pasar Desa

- Minggu, 21 Desember 2025 | 22:50 WIB
Lampu Tempel dan Pembungkaman: Ketika Reset Indonesia Dihalangi di Pasar Desa

Dan begitulah. Kata "reset" tiba-tiba dapat wujud fisiknya. Bukan di halaman buku, melainkan dalam aksi pembungkaman di sebuah desa wisata. Tanpa diduga, Gunungsari masuk ke dalam peta narasi yang mereka tulis. Sebuah titik ganjil dalam perjalanan mulus 45 diskusi sebelumnya.

Coba bayangkan perjalanan mereka. Sejak diluncurkan Oktober 2025, "Reset Indonesia" sudah dibedah di pendopo wakil bupati, di kampus-kampus tua, di tengah komunitas petani Brebes dan Batang. Dibahas di ruang budaya Yogyakarta dan Solo, lalu ke Temanggung dan Wonosobo. Setiap pemberhentian adalah ruang dialog yang hidup. Bahkan, dua hari setelah kejadian di Madiun, tim ini dijadwalkan memenuhi undangan resmi Bupati Trenggalek. Di sana, negara hadir sebagai pihak yang merangkul, bukan membubarkan.

Itu yang membuat malam di Gunungsari terasa istimewa, tapi dalam arti yang pilu. Ia adalah pengecualian yang menyakitkan. Satu-satunya kasus pembubaran paksa dalam seluruh tur dua bulan itu. Seperti interupsi kasar di tengah simfoni panjang percakapan warga.

Pada akhirnya, ini bukan cuma soal satu diskusi yang gagal. Ini cerita miniatur tentang ambivalensi ruang publik kita. Di satu sisi, ruang itu bisa terbuka lebar di Pendopo Wakil Bupati Banyumas. Di sisi lain, ia bisa ditutup paksa di sebuah pasar desa, dengan alasan yang terasa seperti formalitas kosong belaka.

Ketika para penulis dan warga bubar meninggalkan Pasar Pundensari, yang tertinggal adalah pertanyaan besar. Lebih dari sekadar urusan izin. Ini tentang keberanian negara hadir dalam percakapan sulit, tentang jaminan nyata bagi ruang berpikir kritis. Apakah demokrasi kita masih sanggup bernapas di tingkat tapak kaki, di bawah cahaya lampu tempel sebuah pasar desa?

Malam itu, yang dibatalkan bukan cuma sebuah diskusi buku. Yang diuji adalah janji paling dasar dari kehidupan bersama: hak untuk berkumpul, berunding, dan membayangkan ulang masa depan. Dan dalam kesunyian Gunungsari yang tiba-tiba itu, luka lama kebebasan berekspresi kita kembali berdenyut. Segar. Dan perih.


Halaman:

Komentar