Udara Sabtu malam di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Kabupaten Madiun, seharusnya hangat oleh obrolan. Meja panjang berderet, buku-buku "Reset Indonesia" tertata rapi. Lampu-lampu tempel menggantung, menerangi wajah-wajah penasaran warga yang mulai berdatangan. Dandhy Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu sudah siap. Setelah dua bulan menjelajah 45 titik, dari kampus hingga kampung nelayan, mereka mengira malam ini akan jadi satu lagi babak percakapan rutin tentang negeri.
Tapi demokrasi punya detaknya sendiri. Seringkali di luar nalar.
Menjelang pukul tujuh, sekelompok orang memasuki area. Mereka bukan peserta. Wajah-wajah itu dikenal: camat, lurah, sekretaris desa. Di belakangnya, terlihat Babinsa dan perwira Polsek. Percakapan pendek bernada perintah pun terdengar. Acara harus dihentikan. Alasannya klasik: tak ada izin.
Padahal, di meja panitia, tersimpan secarik kertas bukti. Sebuah surat pemberitahuan resmi yang sudah disampaikan ke Polsek Madiun sebelumnya. Surat itu bisu di hadapan titah pembubaran. Tekanan di udara terasa menggumpal, mengubah hawa cair tadi jadi tegang. Untuk mencegah hal yang tak diinginkan, panitia lokal para anak muda penggagas acara akhirnya mengambil keputusan pahit. Mereka membatalkan semuanya. Lampu-lampu tempel itu tetap menyala, tapi kini cuma menyinari kursi-kursi kosong dan rasa kecewa yang menggantung.
Dandhy Laksono kemudian berbicara. Suaranya tenang, tapi terasa dalam.
Namun begitu, dari ketenangan itu meluncur pernyataan yang tajam.
Artikel Terkait
Kisah Pilu di Balik Pemulangan Jenazah Korban Kebakaran Hong Kong
Banjir Sumatra: Tagihan Mahal dari Pembangunan yang Abai
Jaksa Agung Copot Tiga Kajari Terjerat OTT KPK
Cinta Lintas Benua: Kisah Pernikahan Viral Pria Sudan dan Gadis Luwu