Ketika Karung Beras, Cerutu, dan Tusuk Sate Bercerita Lebih Nyaring dari Pidato

- Minggu, 21 Desember 2025 | 21:00 WIB
Ketika Karung Beras, Cerutu, dan Tusuk Sate Bercerita Lebih Nyaring dari Pidato

Bayangkan tusuk-tusuk sate itu, satu persatu, seolah menunjuk ke sebuah jurang yang tak terucap. Jurang antara si peninjau dan yang ditinjau. Yang satu mengunyah, yang lain menonton. Yang satu duduk nyaman, yang lain berdiri di atas lumpur. Secara biologis, semua orang butuh makan, tak ada yang salah. Tapi politik bukan cuma soal kebutuhan biologis, kan? Politik juga hidup dari rasa kepantasan.

Dan rasa kepantasan itu, sayangnya, tidak bisa diatur dengan sekadar peraturan atau surat edaran.

Seringkali kekuasaan lupa, publik sekarang ini membaca gestur seperti membaca buku. Bahkan lebih teliti. Di era di mana setiap orang punya kamera di genggaman, satu adegan singkat bisa menghapus ingatan tentang laporan setebal ribu halaman. Masyarakat mungkin tak hafal angka-angka statistik makro, tapi mereka punya naluri tajam untuk mencium ketimpangan. Mereka bisa merasakan kejanggalan, meski tak selalu bisa merumuskannya dalam teori yang njelimet.

Pada akhirnya, karung beras, cerutu, dan tusuk sate merajut sebuah narasi yang tak pernah dirancang, namun terbaca jelas. Narasi tentang negara yang masih lebih suka berkomunikasi lewat simbol dan benda, ketimbang kehadiran yang tulus dan menyeluruh. Negara merasa cukup dengan menuntaskan prosedur, tapi gagal menangkap etika dalam situasi.

Dalam dunia ideal, kekuasaan punya kepekaan. Ia paham estetika dan etika: kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan sebaiknya menunda acara makan. Bukan demi pencitraan, tapi karena sadar bahwa setiap sikap tubuh adalah pernyataan politik.

Di negeri kita, justru simbol-simbol kecil seperti inilah yang kerap membocorkan watak sesungguhnya. Kekuasaan tak selalu kejam. Ia seringkali cuma terlalu nyaman. Tidak jahat, hanya kurang peka. Dan dalam politik, ketidakpekaan bisa lebih menyakitkan daripada niat buruk sekalipun.

Tusuk sate itu kini tertancap di memori kolektif kita. Bentuknya kecil, sepele. Tapi seperti luka kecil yang diabaikan, ia bisa menimbulkan infeksi yang berkepanjangan. Mungkin di situlah letak ironi terbesarnya. Bukan pada kebijakan besar yang gagal, tapi pada simbol-simbol sehari-hari yang tak disadari telah meninggalkan bekas yang dalam.


Halaman:

Komentar