Pernyataan Wanda Hamidah di Pilpres 2014 dulu dianggap lebay. Bahkan jadi bahan tertawaan. Ia bilang, kalau Prabowo jadi presiden, ruang kritik akan menyempit. Media dibungkam. Negara bakal kembali ke pola Orde Baru.
Banyak yang mengejek waktu itu. "Berlebihan," kata mereka. Dianggap cuma menakut-nakuti publik saja.
Tapi lihat sekarang. Ramalan itu, mau tak mau, terasa relevan. Sangat relevan.
Di sisi lain, kenyataan yang kita hadapi mulai mirip. Kritik kini sering dicap sebagai ancaman. Media yang vokal dapat tekanan dibenturkan dengan pasal atau narasinya dipelintir. Rakyat yang bersuara langsung dapat label: pembenci, antek asing, atau musuh negara. Argumen tak lagi dijawab dengan data, melainkan dengan hardikan dan emosi.
Ironis, bukan? Pemimpin yang dulu mengaku siap dikritik, sekarang tampak alergi. Meja digedor, suara ditinggikan, dan stempel "antek asing" mudah sekali dilempar saat kebijakannya dipertanyakan. Rasanya negara ini tak lagi dipimpin dengan nalar dingin, tapi dengan ketersingungan yang meluap.
Yang bikin ngeri, pola ini pelan-pelan dinormalisasi. Rakyat didesak diam demi stabilitas. Media diminta "bijak", yang artinya jangan terlalu kritis. Demokrasi pun menyusut jadi sekadar ritual lima tahunan hilanglah esensinya sebagai ruang dialog yang hidup.
Artikel Terkait
Wisata Air Panas Pancuran 13 Guci Ditutup Sementara Pasca Banjir Bandang
Di Balik Sikap Menolak Bantuan Asing: Nasionalisme atau Nyawa yang Terancam?
Mantan Menlu Malaysia Tegur Tito Karnavian: Belajar Cara Berbicara ke Tetangga
Tragedi Bekkersdal: Sembilan Nyawa Melayang dalam Serangan Brutal di Sebuah Bar