Sebuah Peta Jalan Keluar
“Terus, solusinya apa? Usir mereka? Tutup bandaranya?” tanya saya memancing.
Rendi tersenyum tipis. “Itu cara berpikir preman, bukan negarawan. Kita butuh investasi mereka, mereka butuh sesuatu dari kita. Posisinya harus setara. Solusinya cuma dua: Diplomasi Bermartabat dan Penegakan Hukum secara Digital.”
Sebelum menutup buku catatannya, dia merangkum sebuah blue print sederhana.
Pertama, terapkan doktrin ‘One Gate, One Data’. Penyatuan data mutlak diperlukan. Saat ini, data perusahaan dan data negara sering berbeda. Solusinya, wajibkan integrasi sistem manifes penerbangan dan kargo secara real-time ke ekosistem logistik nasional. Hilangkan laporan manual. Setiap paspor yang di-scan di Morowali, datanya harus langsung muncul di layar pusat di Jakarta. Jika ada anomali misal visa turis tapi kedatangan rutin sistem langsung memberi tanda bahaya.
Kedua, sterilkan zona aparat. Petugas negara di lapangan kerap ‘dibuai’ fasilitas perusahaan. Negara harus bangun Kantor Layanan Terpadu Satu Pintu di tanah milik negara, bukan pinjaman perusahaan. Larang petugas tidur di mess atau makan katering dari perusahaan. Beri tunjangan kemahalan yang layak agar mereka tak mudah tergoda. Harga diri aparat dimulai dari perut yang kenyang oleh uang negara.
Ketiga, buat kuota jalur umum. Wajibkan 30-40% rotasi TKA atau logistik non-urgent lewat bandara atau pelabuhan umum terdekat. Tujuannya, memaksa interaksi ekonomi terjadi. Biarkan mereka beli air mineral di warung lokal, lihat kondisi jalan raya. Pecahkan gelembung eksklusivitas itu.
Keempat, audit silang dengan ‘Mata Dewa’. Gunakan teknologi satelit dan drone yang dikendalikan pusat untuk pantau aktivitas bongkar muat, terutama di malam hari. Jika ketemu ketidaksesuaian antara laporan dan fakta, terapkan denda administratif hingga 10 kali lipat nilai barang. Gunakan bahasa yang dimengerti korporasi: Profit & Loss. Buat kecurangan jadi pilihan yang terlalu mahal.
Epilog: Jangan Sampai Kita Jadi Tamu
Kopi di gelas Rendi sudah tandas. Hujan di luar mulai reda, meninggalkan aroma tanah basah yang khas. Dia berdiri, merapikan jaket kulitnya yang sudah usang.
“Negara ini sakti, Bro,” katanya, mengucapkan kalimat perpisahan. “Kita punya hukum, kita punya alat, kita punya orang-orang pintar. Yang kita nggak punya cuma satu: Nyali untuk bilang ‘Tidak’ pada pelanggaran.”
Dia menepuk bahu saya cukup keras.
“Tulis ini. Kasih tahu para bos di Jakarta. Jangan sampai cucu kita nanti ke Morowali harus pakai paspor, karena tanah itu secara de facto bukan lagi milik hukum Indonesia. Bandara itu cuma hamparan aspal, tapi di atasnya ada marwah Merah Putih yang sedang dipertaruhkan.”
Dia pun pergi, kembali menyamar sebagai rakyat biasa yang memilih hidup tenang. Tapi suaranya serta peringatannya masih berdenging di telinga saya. Bahkan lebih keras dari deru mesin pesawat jet yang mendarat diam-diam di balik bukit sana.
Morowali adalah potret masa depan kita. Pertanyaannya sekarang: masa depan itu nantinya milik siapa?
Artikel Terkait
Fadli Zon Pastikan Revitalisasi Gedung Sarekat Islam Semarang Dimulai 2026
Detak Jantung dan Segel Map: Saat Ijazah Jokowi Akhirnya Terbuka di Ruang Gelar Perkara
BSI Salurkan Rp245 Juta untuk Dukung Pendidikan Anak Asuh di Bogor
BI Jatim Salurkan Bantuan Kendaraan untuk Pesantren hingga Sekolah