Dosa Ekologi dan Suara Muda: Saat Bumi Menagih Janji di Tengah Banjir Bandang

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:50 WIB
Dosa Ekologi dan Suara Muda: Saat Bumi Menagih Janji di Tengah Banjir Bandang

Melihat jurang lebar antara kompleksitas masalah dan solusi-solusi yang terlalu sederhana, anak muda ini memilih jalan lain. Bukan cuma demo. Mereka membangun gerakan yang terorganisir, berbasis data, dan berakar kuat di komunitas.

"Krisis iklim ini isu antargenerasi," kata Ginanjar Ariyasuta (26), Koordinator Climate Rangers Indonesia. "Solusi palsu yang tidak menyelesaikan sumber masalah cuma akan memindahkan beban ke generasi yang akan datang."

Climate Rangers, yang kini ada di 11 wilayah dari Aceh sampai Sulawesi Selatan, menggagas kampanye [RE]Solusi. Intinya mendorong energi terbarukan berbasis komunitas sebagai jantung transisi yang adil.

Di lapangan, gerakan ini punya wajah yang lebih personal. Di Sukabumi dan Cirebon, kelompok Asihkan Bumi dan KARBON aktif menolak kebijakan co-firing biomassa. Mereka mengolah data lapangan dan menyajikannya dalam bahasa yang mudah dicerna warga, mengungkap risiko deforestasi terselubung di balik jargon "energi hijau".

Di Kepulauan Mentawai, Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) bergerak menolak izin baru pemanfaatan hutan. Gerakan mereka lahir dari nilai keluhuran masyarakat adat yang memandang hutan sebagai ibu. Sementara di Paiton, Lembaga Pers Mahasiswa Al Fikr menyuarakan keresahan warga yang hidup dalam bayang-bayang PLTU setiap hari.

"Mereka adalah suara yang mengakar dari kokreasi antar generasi dalam komunitas," kata Fathan Mubina tentang kelompok-kelompok akar rumput ini.

Melawan dengan Organisasi

Strategi mereka jelas. "Yang utama adalah mengorganisir diri dengan memperluas, menghubungkan, dan memperdalam gerakan orang muda," ujar Ginanjar. Prinsipnya sederhana tapi kuat: "Hanya masyarakat yang terorganisir lah yang bisa mengalahkan uang yang terorganisir."

Pernyataan itu sekaligus peringatan. Kekuatan rakyat, sebesar apapun, bisa tergerus jika kebijakan negara berjalan ke arah sebaliknya. Mereka minta langkah konkret pertama: hentikan pembangunan ekstraktif baru seperti PLTU, smelter nikel, dan perluasan tambang yang justru mengunci ketergantungan pada energi fosil.

Memang, laporan ilmiah dari berbagai pihak menyebut bencana hidrometeorologi adalah hasil kombinasi banyak faktor. Tata ruang yang salah, DAS yang rusak, aktivitas di bantaran sungai, ditambah curah hujan ekstrem. Ada juga kajian yang menunjukkan karakteristik hidrologis tanaman tertentu, seperti sawit, tidak lebih boros air dibanding tanaman lain.

Tapi bagi anak muda di garis depan, debat teknis ini jangan sampai mengaburkan tuntutan utama. Penurunan emisi gas rumah kaca harus nyata dan cepat. Kita sudah dalam kondisi darurat iklim. Setiap penundaan hanya akan membuat badai berikutnya lebih kuat, banjir berikutnya lebih dalam.

Rumah yang tenggelam dan pohon yang hilang adalah pengingat betapa sempitnya waktu yang tersisa. Suara mereka di ujung sana bukan sekadar kritik. Itu permintaan sederhana yang terdengar pilu sekaligus penuh tekad, sebuah tuntutan antargenerasi: "Biarkan kami mewarisi bumi yang masih bisa dihuni." Mereka tidak lagi menunggu jawaban. Mereka sedang menulisnya sendiri, dengan aksi, di desa-desa dan kampus-kampus mereka.


Halaman:

Komentar