“Rencana 200 unit, yang baru terealisasi 50. Yang jadi percontohan adalah kepala wilayah, karena beliau nanti yang akan sosialisasikan langsung ke warga,” jelas Wayan Merta.
Ia berharap proyek ini rampung akhir Desember ini agar warga tidak kelimpungan. Tapi di sisi lain, Wayan sendiri sebenarnya kurang yakin apakah 200 teba modern itu cukup untuk mengolah sampah satu desa. Harapannya, masyarakat terdorong untuk membangunnya secara mandiri.
Bagi warga yang tak punya lahan kosong, desa punya alternatif lain: membagikan tempat pengolahan sampah dengan biopori.
Jaminan Tak Akan Bau
Lantas, bagaimana dengan bau? Wayan Merta meyakinkan bahwa lingkungan tak akan jadi sumber aroma tak sedap. Asalkan dibangun dengan benar, proses pengomposan aerobik dengan sirkulasi udara baik akan mencegah bau busuk.
“Masyarakat bisa tuang air cucian beras atau cairan EM4 kalau khawatir,” katanya. Tim desa juga siap datang ke rumah warga untuk memanen kompos jika pemiliknya tidak memanfaatkannya. Biasanya, teba modern penuh dan siap panen dalam waktu tiga bulan.
Wayan punya pengalaman pribadi. “Saya sudah buat teba modern sejak 2013 di lahan bekas tangki septik rumah. Cukup dalam, dan belum penuh juga karena sampahnya menyusut jadi kompos,” tuturnya.
Jadi, langkah ini bukan sekadar reaksi dadakan. Ini upaya bertahap, meski penuh tantangan, untuk lepas dari ketergantungan pada TPA sentral. Semuanya kembali ke kesadaran warga.
Artikel Terkait
Krisis Jiwa di Barisan: 61 Prajurit Israel Tewas Bunuh Diri Sejak Perang Gaza
Duka Sumatera dan Dalang di Balik Banjir yang Terus Berulang
Wilayah Lebih Luas dari Jawa Tenggelam, Respons Terasa Kecil
Bupati Bekasi Ditangkap KPK Usai Dilantik Tiga Bulan