Jumat sore itu, di sebuah rumah berukuran tak lebih dari dua kali tiga meter di Gang 2 Wonocolo, Surabaya, Priadi (61) duduk terdiam. Tangannya sesekali mengelus lembut kepala cucu lelakinya yang baru berusia tiga tahun, tertidur pulas di pangkuannya.
Di ruangan sebelah, yang hanya dipisahkan oleh sekat tripleks tipis, cucu pertamanya yang berumur lima tahun juga terlelap bersama ibunya. Suasana sunyi sore itu menyelimuti rumah sederhana yang dihuni empat orang ini.
Kehidupan Priadi tak mudah. Ia tinggal bersama anak perempuannya dan kedua cucu. Sang istri telah lama meninggal, sementara menantinya suami putrinya menghilang tanpa kabar. Beban hidup sepenuhnya kini ada di pundaknya yang sudah renta.
Untuk menyambung hidup, Priadi mengandalkan barang-barang bekas. "Saya cari rongsokan pakai kursi roda," ujarnya, menjelaskan rutinitasnya. Tapi sebenarnya, lebih sering ia menerima pemberian dari tetangga yang baik hati.
"Satu kilo dapat Rp 1.500. Dalam seminggu, paling dapat lima kilo. Itu pun nggak setiap hari," katanya. Barang-barang seperti galon kosong, botol plastik, dan kardus ia kumpulkan, lalu ditimbang ke pengepul. Hasilnya? Sekitar seratus lima puluh ribu rupiah sebulan. Jumlah yang sangat pas-pasan.
Dengan kondisi seperti itu, menyiapkan sarapan bergizi untuk kedua cucunya kerap menjadi mimpi sulit. Tapi belakangan, ada secercah bantuan.
Artikel Terkait
Pelepasan 1.035 Pekerja Profesional Jadi Sinyal Awal Target Prabowo: 500.000 SDM Unggul ke Luar Negeri
Sungboon Editor: Rahasia Kulit Sehat dari Bahan Alam Korea
Dari Pacitan ke Puncak Podium, Luluk Diana Ukir Sejarah di SEA Games
KHL: Tolok Ukur Baru untuk Upah yang Manusiawi di Indonesia