Sekarang? Bantuan sering datang justru dari NGO atau lembaga swadaya masyarakat. Proposal beredar, donasi dikumpulkan, tapi distribusinya acapkali tidak merata. Ironisnya, negara lebih sering berperan sebagai koordinator bantuan swasta, bukan sebagai aktor utama yang memegang kendali. Negara jadi semacam panitia, bukan pemilik otoritas.
Media juga jadi variabel penting. Bayangkan jika Soeharto masih memimpin. Pemberitaan bencana pasti akan dibatasi, disederhanakan, dan difokuskan pada narasi “kehadiran negara”. Anda tak akan melihat tayangan korban menangis berhari-hari di TV. Bukan karena lebih manusiawi, tapi karena negara tak mau terlihat lemah.
Hari ini, keadaan justru terbalik. Negara cenderung reaktif terhadap opini publik. Takut viral, takut diserang buzzer politik, takut dicap gagal. Alhasil, kebijakan yang dibuat kadang lebih ditujukan untuk mengelola persepsi, bukan semata-mata untuk menyelamatkan korban.
Soal korupsi pun punya karakternya masing-masing. Jangan salah, Orde Baru bukan era yang bersih. Tapi dalam konteks bencana, praktik korupsi cenderung terpusat, tertutup, dan tidak gaduh.
Pasca-Reformasi, korupsi dana bencana justru terjadi secara “berjamaah”. Pejabat saling melapor, KPK turun tangan, tapi seringkali setelah korban lama menderita. Korupsi model begini bukan cuma merugikan negara, tapi secara struktural memperpanjang penderitaan.
Pembangunan pasca-bencana juga mencerminkan perbedaan ini. Dulu, rumah dibangun cepat dan seragam. Minim partisipasi warga, memang. Tapi setidaknya, selesai. Sekarang, prosesnya jauh lebih lambat karena harus melalui partisipasi publik, diskusi desain, sengketa lahan, dan revisi anggaran. Hasilnya lebih baik secara ideal, tapi korban bencana tak bisa menunggu sampai semua proses itu matang.
Pada akhirnya, ini semua adalah cermin keras bagi kita. Tulisan ini bukanlah pembenaran bagi otoritarianisme Orde Baru. Ini lebih sebagai refleksi atas demokrasi kita yang masih mencari bentuk.
Soeharto, dalam bayangan ini, adalah sosok yang cepat dan tegas. Tidak banyak bicara, dan tak peduli citra. Sebaliknya, Indonesia hari ini bebas, demokratis, dan transparan. Namun, kita kerap gagap dan lamban saat negara dituntut bertindak cepat dan tegas.
Itulah pertanyaan besarnya. Mengapa setelah Reformasi, negara justru seperti kehilangan daya komando tepat di saat rakyatnya paling membutuhkan? Mungkin, di situlah letak ironi terbesar dari republik ini.
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, Executive Director HIAWATHA Institute di Jakarta
Artikel Terkait
Fortuner Modifikasi Jadi Gudang Solar Ilegal, Bocor dan Bikin Warga Jatuh
Istri Oknum Polisi Gerebek Rumah Selingkuhan, Laporannya Mengambang Sejak Agustus
Buruh Soroti Formula Upah 2026: Hanya Bertahan Hidup, Bukan Hidup Layak
Pemandu Palsu di Keraton Yogya, Putri Sultan Ungkap Langkah Mitigasi