Bila Soeharto Masih Hidup
Cara Orde Baru “Membereskan” Bencana Sumatera
(Sebuah Perbandingan dengan Indonesia Pasca Reformasi)
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, Executive Director HIAWATHA Institute
Bencana alam di Sumatera gempa, tsunami, banjir bandang, atau letusan gunung selalu punya dua wajah. Ada tragedi alamnya, dan ada tragedi tata kelola negara yang seringkali lebih pelik. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika almarhum Jenderal Besar Soeharto masih hidup dan memimpin Indonesia saat bencana besar melanda Sumatera sekarang? Pertanyaan ini bukan untuk bernostalgia. Ini lebih seperti pisau bedah untuk membedah dua zaman yang sama sekali berbeda.
Di satu sisi, ada Orde Baru yang otoriter tapi terpusat kuat. Di sisi lain, ada era pasca-Reformasi yang demokratis, namun terasa terfragmentasi. Perbedaannya bisa sangat mencolok, terutama dalam hal kecepatan komando.
Begitu laporan bencana masuk, Soeharto kecil kemungkinan akan buang-buang waktu dengan konferensi pers atau klarifikasi narasi. Yang akan terdengar kemungkinan besar adalah instruksi singkat dan tegas.
Bencana pada masa itu dilihat sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Makanya, penanganannya bersifat militeristik: cepat, rapi, dan kalau perlu, keras. Bandingkan dengan sekarang. Semuanya diawali dengan rapat lintas kementerian yang berbelit. Koordinasi pusat dan daerah tersendat oleh ego sektoral. Kepala daerah menunggu anggaran, sementara menteri mungkin lebih dulu menunggu sorotan kamera. Fenomena yang sering kita lihat: bencana sudah viral di media sosial, tapi penanganan di lapangan masih jalan di tempat.
Peran militer pun berbeda jauh. Dulu, ABRI adalah tulang punggung negara itu sendiri. Dalam skenario hipotetis ini, Sumatera akan langsung dibagi jadi sektor-sektor operasi militer. Koramil jadi pusat logistik, Kodam jadi komando distribusi, dan Pangdam bertanggung jawab langsung ke Presiden. Tak ada debat soal pelanggaran HAM dalam situasi darurat. Negara hadir secara fisik, massif, dan mendominasi.
Namun begitu, pasca-Reformasi, TNI seringkali harus menunggu permintaan resmi dari kepala daerah. Mereka terikat prosedur yang ketat. Dipuji di media, tapi secara struktural dibatasi. Akibatnya, negara terlihat hadir, tapi kedaulatannya atas situasi darurat kerap dipertanyakan.
Hal yang sama terjadi dalam hal logistik. Pada masa Orde Baru, gudang Bulog bisa langsung dibuka. Beras didistribusikan tanpa tender rumit. Truk militer bergerak cepat, mengabaikan birokrasi. Korban mungkin tak diberi pilihan, tapi setidaknya mereka cepat mendapat makan.
Artikel Terkait
Fortuner Modifikasi Jadi Gudang Solar Ilegal, Bocor dan Bikin Warga Jatuh
Istri Oknum Polisi Gerebek Rumah Selingkuhan, Laporannya Mengambang Sejak Agustus
Buruh Soroti Formula Upah 2026: Hanya Bertahan Hidup, Bukan Hidup Layak
Pemandu Palsu di Keraton Yogya, Putri Sultan Ungkap Langkah Mitigasi