✍🏻 Erizeli Jely Bandaro
Bencana alam, dalam manajemen modern, bukanlah sesuatu yang datang begitu saja tanpa peringatan. Ia sebenarnya adalah risiko yang bisa diprediksi. Bisa dipetakan, dimitigasi, dan dikelola dengan sistem yang matang. Jadi, kalau kita lihat kegagalan menangani banjir atau longsor, akarnya jarang karena kurang data. Lebih sering, ini soal gagalnya kepemimpinan di tingkat manajerial. Akar masalahnya bukan cuma hujan deras atau kondisi tanah. Bukan pula takdir.
Intinya ada di cara berpikir para pemimpin saat menghadapi krisis.
Menurut ilmu penanganan krisis, respons bencana yang baik harus melalui tahapan yang jelas. Pertama, Emergency Response (0–7 hari). Fokusnya cuma satu: menyelamatkan nyawa. Evakuasi, logistik darurat, layanan kesehatan, plus komunikasi publik yang transparan harus jadi prioritas mutlak.
Lalu masuk fase Stabilization & Relocation (1–6 bulan). Di sini, korban perlu dipindahkan ke zona yang benar-benar aman. Hunian sementara harus layak, infrastruktur dasar dipulihkan, dan kepastian bagi masyarakat jadi hal utama.
Tahap terakhir adalah Reconstruction & Risk Reduction (setelah 6 bulan). Ini waktunya penataan ulang tata ruang, pemulihan lingkungan, dan yang tak kalah penting: penegakan hukum atas penyebab struktural bencana. Ini bukan cuma teori. Ini standar yang diakui secara global.
Nah, ketika tahapan ini berantakan, penyebabnya biasanya bukan karena keterbatasan teknis. Tapi lebih pada ketiadaan kepemimpinan yang sistemik.
Kepemimpinan Reaktif: Ciri Manajemen Gagal
Coba perhatikan pemimpin yang merespons kritik soal bencana dengan kalimat seperti, "Ada saja pihak yang menyalahkan pemerintah." Pola seperti ini menunjukkan reactive leadership. Dalam dunia manajemen, ini sering disebut defensive governance.
Ciri-cirinya gampang dikenali. Fokusnya lebih ke citra, bukan solusi. Yang dikelola adalah persepsi, bukan sistem. Data ditanggapi dengan emosi, bukan evaluasi mendalam. Kritik dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai umpan balik yang berharga. Padahal, dalam organisasi yang sehat, kritik justru berfungsi sebagai early warning system.
Ketika Negara Dikelola Layaknya Kampanye
Di sisi lain, manajemen krisis yang solid memerlukan koordinasi lintas lembaga yang cekatan. Butuh keputusan cepat tanpa dibebani pencitraan, dan akuntabilitas yang diukur dari hasil nyata. Sayangnya, kepemimpinan yang performatif justru melihat negara sebagai panggung komunikasi belaka, bukan sistem operasional yang harus berjalan presisi.
Artikel Terkait
Panggilan Dadakan Prabowo untuk Otto Hasibuan, Agenda Istana Masih Gelap
PM Albanese Temui Pahlawan Bondi yang Berani Hadang Penembak
Pramuka DIY Bekali Generasi Z dan Alpha Hadapi Bencana
Dedi Mulyadi Bongkar Akar Masalah Kerusakan Lahan di Pangalengan