Delapan Hari Menembus Neraka Banjir Aceh: Kisah Heru yang Pulang dengan Luka dan Syukur

- Senin, 15 Desember 2025 | 11:48 WIB
Delapan Hari Menembus Neraka Banjir Aceh: Kisah Heru yang Pulang dengan Luka dan Syukur

Raut lelah masih jelas terpancar di wajah Heru Apriangga. Di rumahnya di Blok Bungkul Barat, Indramayu, Minggu siang itu, sorot matanya masih menyimpan bayangan mengerikan dari perjalanan panjang yang baru saja ia lalui. Delapan hari. Itu waktu yang ia habiskan untuk berjalan kaki, menembus hutan lebat, menghindari longsor, dan menyaksikan langsung sisa-sisa kehancuran banjir bandang di Aceh Tengah. Baginya, bisa kembali menginjakkan kaki di rumah terasa seperti keajaiban.

Sebagai pekerja bangunan, Heru berangkat ke Aceh Tengah bersama puluhan rekan pada Jumat, 21 November 2025. Tujuannya: membangun markas TNI di kawasan hutan Pamar. Mereka tiba di lokasi proyek pada Rabu malam. Namun, petaka datang jauh lebih cepat dari perkiraan siapa pun.

“Jadi yang dilihat di medsos itu sebenarnya hanya sebagian kecil,” ujar Heru, suaranya rendah.

“Aslinya, jauh lebih parah lagi.”

Malam Gelap dan Jeritan Minta Tolong

Hanya beberapa jam setelah tiba, segalanya berubah. Listrik padam total, sinyal ponsel lenyap. Dalam kegelapan pekat, Heru mendengar suara gemuruh yang tak biasa air yang mengalir deras, bercampur dengan bunyi batang kayu saling menghantam. Dari kejauhan, teredam tapi jelas, terdengar jeritan minta tolong.

Untungnya, posisi mereka lebih tinggi. “Kita nggak bisa ngapa-ngapain, listrik mati, sinyal nggak ada,” kenangnya. “Saya bangunin teman-teman, kami lihat banjir itu sekitar seratus meter dari tempat kami.” Mereka selamat malam itu, tapi belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana.

Rasa Lapar dan Kecurigaan

Keesokan harinya, mereka tetap bekerja. Tapi bencana sebenarnya mulai terasa lewat perut yang keroncongan. Dua hari berlalu tanpa jatah makan sama sekali. Saat protes dilayangkan, jawaban dari anggota TNI yang berjaga justru membuat hati mereka semakin ciut.

“Kata anggota TNI-nya, jangankan kalian, kita juga kelaparan.”

Larangan untuk pergi pun diberikan. Akses jalan terputus, katanya, dan rawan longsor susulan. Heru dan beberapa rekannya tak percaya. “Kami pikir cuma alasan nahan kita biar terus kerja,” ucapnya. Akhirnya, dari 24 pekerja, separuhnya memilih nekat pergi. Heru termasuk di dalamnya.


Halaman:

Komentar