Di Balik Pintu Rapat: Saat Gelar Perkara Berubah Jadi Arena Uji Kredibilitas

- Senin, 15 Desember 2025 | 05:25 WIB
Di Balik Pintu Rapat: Saat Gelar Perkara Berubah Jadi Arena Uji Kredibilitas

Jadi, perbedaan antara gelar perkara biasa dan khusus ini bukan cuma soal istilah. Ini soal relasi kuasa. Yang biasa adalah ekspresi kewenangan vertikal: penyidik lapor ke atasan. Yang khusus adalah bentuk koreksi horizontal: penyidik dipaksa bertanggung jawab pada hukum, pengawasan eksternal, dan opini masyarakat.

Makanya, forum khusus hampir selalu melibatkan pihak yang lebih luas. Selain penyidik dan atasannya, bisa hadir pengawas internal, perwakilan fungsi hukum, bahkan lembaga seperti Kompolnas atau Ombudsman. Kehadiran mereka bukan untuk pajangan. Itu pertanda bahwa proses penyidikan dianggap tak cukup jika hanya dinilai oleh kalangan sendiri.

Tapi di sini masalahnya. Nggak semua gelar perkara yang berlabel "khusus" benar-benar dijalankan dengan semangat terbuka. Ada yang secara formal terlihat istimewa, tapi secara substantif tetap defensif. Pihak berkepentingan diundang, tapi pendapatnya cuma numpang lewat. Keberatan dicatat, tapi kesimpulan akhir ya tetap sama saja.

Kalau sudah begini, gelar perkara khusus cuma jadi kosmetik. Memberi kesan transparan, tanpa benar-benar memberi ruang untuk koreksi.

Padahal, secara prinsip, forum ini membawa konsekuensi hukum yang riil. Hasilnya bisa jadi dasar pengaduan etik, bahan gugatan praperadilan, atau pintu masuk tuduhan maladministrasi. Ia seharusnya jadi ruang di mana setiap keputusan bisa ditelusuri alurnya: dari alat bukti, kesaksian, sampai penerapan pasal yang digunakan.

Dalam negara hukum yang sehat, gelar perkara khusus sebenarnya bukan ancaman buat penyidik. Justru sebaliknya, ia bisa jadi pelindung. Dengan membuka proses, institusi justru melindungi diri dari tuduhan bekerja dalam kegelapan. Menutup-nutupi malah memperpanjang krisis kepercayaan.

Pada ujungnya, gelar perkara apapun jenisnya adalah cermin bagaimana negara memperlakukan hukum. Apakah hukum cuma dianggap alat kekuasaan yang cukup dipercaya aparatnya sendiri, atau sebuah sistem yang harus siap diuji oleh publik. Kasus Sambo dan polemik ijazah tadi menunjukkan satu hal: ketika sebuah perkara menyentuh saraf kepercayaan publik, hukum nggak bisa lagi bekerja secara diam-diam.

Di ruang gelar perkara itulah wibawa hukum diuji. Bukan oleh teriakan massa atau desakan politik, tapi oleh kesediaan negara membuka prosesnya sendiri. Tanpa itu, hukum mungkin tetap berjalan. Tapi legitimasinya? Bisa pelan-pelan menguap.

Penulis adalah Dosen Universitas Bung Hatta, Padang, Sumbar.


Halaman:

Komentar