Lantas, apa dasarnya? Menurut Gus Yahya, posisi Ketua Umum tidak bisa begitu saja diturunkan lewat sebuah Rapat Pleno. Mekanisme itu, katanya, tidak sesuai aturan main.
"Mekanisme pemberhentian pimpinan di tengah masa jabatan hanya dapat dilakukan melalui forum tertinggi, yaitu Muktamar Luar Biasa (MLB), dan harus didasari oleh adanya pelanggaran berat yang terbukti," terang Gus Yahya. Jadi, AD/ART organisasi sudah jelas mengaturnya.
Keputusan Rapat di Hotel Sultan
Polemik ini berawal dari sebuah rapat di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, pada Selasa (9/12) lalu. Dalam forum yang dipimpin Rais Syuriyah PBNU Mohammad Nuh itu, rapat pleno menetapkan Wakil Ketua Umum PBNU, KH Zulfa Mustofa, sebagai Penjabat (Pj) Ketua Umum.
Mohammad Nuh kemudian menjelaskan bahwa KH Zulfa akan memimpin PBNU untuk sisa masa bakti kepengurusan saat ini. Tugas-tugas Ketua Umum akan diembannya hingga Muktamar Nahdlatul Ulama digelar nanti, yang rencananya jatuh pada 2026.
Rapat pleno itu sendiri sebelumnya dibuka oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa forum tersebut adalah upaya untuk menguatkan supremasi Syuriyah dalam struktur PBNU. Penguatan peran lembaga itu, disebutnya, merupakan komitmen bersama agar fungsinya berjalan sesuai khittah organisasi.
Artikel Terkait
BMKG Naikkan Status: Bibit Badai di Selatan Jawa-Bali Berpotensi Jadi Siklon Tropis
Sidang Cerai Atalia-Ridwan Dibuka, Keduanya Absen di Pengadilan
PSI Kalbar Gelar Rakorwil, Fokus Siapkan Verifikasi Pemilu 2029
Husnuzhon Rakyat Tergerus: Bencana Sumatera dan Perkap Sigit Uji Wibawa Prabowo